![]() |
illustrasi | berita.bdkmks.web.id |
Yang kualami sih memang seperti itu. Namun untuk memastikan
kebenarannya secara massal, dibutuhkan sebuah survey dan penelitian.
Sejak kecil, aku sudah punya cita-cita, mau jadi apa aku
ketika dewasa. Pernah kuingin menjadi astronot, saat ayah bercerita tentang
manusia bisa melayang di sana. Aku juga pernah berkeinginan menjadi dokter,
yang bisa menolong orang lain, apalagi ketika aku menyukai sepakbola, inginku
menjadi tim dokter sebuah klub besar di Eropa. Namun, yang lebih sering
dipikiranku justru cita-cita yang tidak jelas dan sangat pasaran, yakni ingin
berguna bagi nusa dan bangsa atau ingin masuk Surga. Maka, wajar saja ketika
aku sudah berada di kelas pamungkas SMA, aku benar-benar bingung memutuskan
masa depan. Melanjutkan ke perguruan tinggi sih hampir pasti terlaksana,
mengingat kondisi perekonomian keluarga saat itu masih bisa diharapkan. Tapi,
mau kuliah di mana? kampus mana? jurusan apa? kalau lulus entar bisa jadi apa?
Berbagai pertanyaan itu membuatku yakin bahwa sebenarnya aku memilih STAN bukan
karena cita-cita.
Melanjutkan cerita di atas. Yang kulakukan kemudian adalah
mendaftar PMDK, saat itu informasi yang kuterima cukup sedikit. Awal-awal di
kelas tiga, ada informasi tentang TRY OUT STAN. Aku masih ingat betul, saat itu
aku masuk ke kelas, ternyata di tiap meja sudah ada di atasnya sebuah brosur
TRYOUT STAN yang akan diselenggarakan di Semarang. Saat itulah aku baru
mengenal STAN, kubaca perlahan brosurnya dengan saksama. Langsung tergiur juga
dengan keistimewaannya, biaya gratis dan langsung kerja, Wow!! Maka, kuputuskan
untuk ikut TRYOUT itu. Bukan hanya aku yang tertarik, banyak temen SMA-ku yang
juga penasaran. Maka kami pun mendaftar di sebuah tempat pendaftaran di kota Demak.
Berapa ya harganya? sepertinya 20 atau 25 ribu rupiah. Nah, ketika sudah hari
pelaksanaan, pagi harinya aku dan beberapa teman berangkat bersama di mobil
ayah. Yang kubawa cuma pensil 2B dan penghapus. Kupikir panitia akan
menyediakan meja di sana. Ternyata tidak. Jumlah peserta yang daftar
benar-benar membludak. Tidak mungkin di sebuah GOR disediakan meja, maka
akhirnya kubeli papan tatakan pada para penjual dadakan. Di dalam GOR
suasananya bener-bener nggak nyaman. Masuknya saja sudah berdesak-desakan.
Kondisi semakin parah saat mengerjakan. Kami cuma duduk di sebuah kursi lipat
yang sering dipakai saat walimahan, tidak ada kursi bermeja seperti di
kampus-kampus. Maka mengerjakannya pun aku dibuat kerepotan, harus
nunduk-nunduk mengisikan jawaban. Apalagi saat itu suhu ruangan panas, hingga
tetesan keringat pun membuat kertas jawaban kotor dan lecek. Eh, dua orang
dibelakangku malah asyik-asyikan ngomong dan bekerja sama. Untung aku cinta
damai, kalau enggak udah aku gampar!! (padahal takut berantem, ^^)
Setelah merasakan susahnya mengerjakan soal-soal di TRYOUT
ecek-ecek itu, aku jadi tak yakin bisa masuk STAN. Maka kujalani tingkat tiga
bagaikan air mengalir. Sampai tiba-tiba ada tawaran PMDK D3 Teknik di UNDIP,
aku putuskan coba-coba daftar D3 Teknik Sipil. Namun beberapa bulan kemudian,
kutahu bahwa coba-cobaku gagal. Iri juga waktu itu ngeliat temen-temen lain ada
yang lolos juga. Kemudian, ketika UNES (Univ, Negeri Semarang) yang kualitas
jurusan kependidikannya tidak diragukan sedang buka pendaftaran, rame-rame
temen se-SMA mendaftar, bahkan sekelasku 50% lebih yang mendaftar. Busyet dah!!
Aku tak punya kepikiran jadi guru, maka aku tak jadi orang latah waktu itu.
Namun di dalam hati aku masih cemas, mau kemana nanti setelah lulus. Kemudian,
ada juga brosur Ujian Masuk UGM diedarkan. Beberapa teman juga ikut, padahal
tesnya di Jogja dan butuh modal mendaftar yang nggak main-main. Aku saat itu
sungguh minder dan kuper. Nggak berani ambil keputusan ikut tes ini. Mahal
men!! ke Jogja pula!!
Setelah tes UAS dan UAN selesai, aku masih terkatung-katung.
Sepertinya harus ikut UMPTN ini. Memang sih saingannya banyak. Tapi, dengan
bekal sebuah buku soal, kupelajari soal-soal UMPTN jauh-jauh hari. Kemudian
akhirnya pendaftaran di buka. Kubeli formulir di Ruang Bimbingan dan Konseling
(BK), kutanyakan dengan jelas persyaratannya dan akhirnya ku minta dukungan
orang tua. Kegalauan muncul lagi saat harus mengisi jurusan dan kampus yang
ingin kutuju. Karena dari jurusan IPA, aku punya kesempatan memilih yang campuran,
yaitu dua jurusan IPA dan satu jurusan IPS. Inilah keuntungan yang dimiliki jurusan IPA. Waktu itu aku
berdiskusi dengan ayah, mau ambil apa. Kelihatan butanya aku atas masa depanku
sendiri. Saat itu aku tertarik ke DKV (Desain Komunikasi Visual), tapi ayah
berpendapat bahwa DKV kurang berprospek. Maka dipilihkannya aku Teknik Sipil
UNDIP sebagai pilihan pertama, kemudian Teknik Geologi UNDIP, dan yang IPS-nya
Akuntansi UNS. Teknik Sipil menjadi pilihan karena ayahku juga seorang Sarjana
Teknik Sipil dan bekerja di sebuah perusahaan kontraktor, jadi minimal aku dah
tahu kerjanya kayak apa. Dia bisa jadi tentorku nantinya. Kemudian Teknik
Geologi karena ilmunya beda-beda tipis dengan Sipil. Kemudian Akuntansi UNS,
karena kakakku sudah di sana. Kelihatan banget aku gak punya preferensi
sendiri.
Mengerjakan soal UMPTN gak mudah. Aku dibekali semangat dan
tips trik oleh seorang guruku SMA, namanya Waluyo Sudarmo. Pak Wal mengajari
untuk mengisi yang mudah terlebih dahulu, ia juga membekali aku dengan ilmu gambling.
Misalnya ketika ada soal yang pilihan jawabannya -1, 0, 1, 2, dan 3 maka
jawabannya kemunginan besar adalah 1, karena angka itu dua kali muncul, dan
merupakan satu dari tiga angka positif yang muncul. Gambling bisa dipakai ketika
mengalami kebuntuan dalam mengisi jawaban. Malam hari sebelum tes, aku tidak
bisa tidur. Baru bisa tidur sejak pukul 02.00. Bukan karena belajar, tetapi
karena cemas dan gelisah.
Hari-H akhirnya datang juga. Jam setengah lima aku sudah
dibangunkan Ibu. Meski masih ngantuk-ngantuk kupaksakan untuk tetap
berkonsentrasi dan terjaga. Tes diadakan di kampus Undip bawah (Pleburan).
Kukerjakan Soal Bahasa Indonesia, Inggris, dan Matematika dengan susah payah,
meski begitu aku masih yakin bisa benar 60%. Hari ke dua, soalnya susah banget.
Banyak gambling yang kupraktikkan disini. Mungkin aku cuma dapet 30-40% saja.
Udah bikin pesimis aja. Hari kedua siangnya, aku juga kesusahan menjawab IPS.
Sama sekali nggak yakin. Namun, yang penting ini semua dah selesai. Aku tinggal
berdoa dan tawakkal pada Allah.
Selain UMPTN, aku juga disarankan ayah daftar di Kedokteran
UNISSULA. Maka kudatangi UNISSULA beberapa hari kemudian. Kutanya dan kuminta
brosurnya dari seorang humasnya. Meski demikian aku nggak jadi daftar, masih
ragu dengan kemampuan finansial orangtua, karena kedokteran itu luar biasa
mahalnya apalagi kampus swasta.
Pengumuman UMPTN sudah tiba. Pagi-pagi sekali aku membeli
koran Kedaulatan Rakyat di kecamatan sebelah. Kutelusuri nama-nama di
pengumuman yang ada di koran itu. Alhamdulillah wallahu akbar! BAMBANG SUHARTO,
tertulis di situ, di sebelah nama ada kode jurusan yang lulus. Kucari referensi
kode-kode itu dan ternyata adalah.... TEKNIK SIPIL UNDIP. Sujud syukur seketika
kulakukan. Lalu kusampaikan kabar gembira itu pada ayah, ibu, dan kakakku.
Hatiku benar-benar berbunga. Akhirnya aku tahu kemana aku akan berlabuh.
Akhirnya tibalah aku pada seminggu sebelum USM STAN. Aku
hanya berbekal buku soal fotokopian. Kupelajari selembar demi selembar, lalu
kurumuskan jurus-jurus dari tiap tipe soal. Hanya saja karena aku sudah lulus
ke UNDIP aku tak begitu semangat. Aku hanya melaksanakan tes untuk melampiaskan
seluruh potensiku. Soal-soal STAN sungguh membuatku penasaran.
Hari USM sudah datang dan aku harus berangkat pagi-pagi,
masih diantarkan oleh ayah. Sampai di gedung AKPERISSA UNISSULA sesaat sebelum
waktu tes dimulai. Aku duduk dua baris dari belakang, di belakangku ada teman
se-SMA, namanya Azmi. Aku kerjakan sesuai dengan kemampuanku, nothing to lose.
Saat berdoa kemarin saja, aku justru mendoakan temanku yang tidak mampu. Untuk
diriku sendiri aku hanya meminta yang terbaik dari-Nya. Kuasa Allah benar-benar
kurasakan, setengah sampai satu jam sebelum waktu tes berakhir, kubuka lagi
nomor-nomor soal yang belum kuisi.
Namun, anehnya, setiap kali kubaca, aku malah bisa mengisinya. Maka aku bisa
mengisi banyak sekali soal di akhir-akhir waktu itu. Aku keluar dengan perasaan
lega. TKU dan Bahasa Indonesia aku yakin bisa dapat nilai besar, hanya Bahasa
Inggris yang kurang yakin.
Singkat cerita, aku lulus USM STAN. Alhamdulillah. Sementara
temenku yang kudoakan tadi tidak lulus. Meski begitu aku sudah beberapa hari
kuliah di Teknik Sipil Undip. Di sinilah aku dan keluarga mulai bingung. Aku
bermimpi mendapatkan undian berhadiah. Mungkin mimpi ini jawaban dari sholat
istikharahku bahwa STAN adalah pilihan yang tepat. Aku sudah mengambil jatah
temenku untuk lulus, maka sungguh dzolim apabila aku tidak mengambil kesempatan
ini. Apalagi aku ingin mencoba merantau, jauh dari keluarga. Ibu menyetujui,
tetapi Ayah tidak. Sebagai orang Sipil, tentu Ayah sangat ingin agar aku
menjadi penerusnya. Namun, pendirian Ayah akhirnya luluh juga setelah beliau
bertanya dan konsultasi dengan saudara-saudaranya dan teman-temannya. Selamat
tinggal UNDIP, salam kenal STAN!!
Terbukti aku tidak punya cita-cita saat menjadi calon mahasiswa STAN. Tak pernah kupikirkan
aku akan jadi PNS nantinya. Aku ke STAN hanya dengan pertimbangan saat itu juga. Namun, ternyata aku tidak sendirian. Banyak juga sesama Calon
Mahasiswa STAN yang saat daftar ulang mengaku sudah diterima di Kedokteran UGM.
Luar biasanya, dia sudah dua tahun kuliah di UGM. Agak nggak masuk di akal, melepas
kesempatan dokter dan biaya yang tidak tanggung-tanggung untuk masuk ke STAN.
Apa ini untuk cita-cita? kurasa tidak. Namun, meskipun aku
ke STAN bukan karena cita-cita, tetapi saat ini kubersyukur atas keputusanku
melepas UNDIP untuk menuju STAN waktu itu. Karena hidup memang pilihan dan apa
yang kita rencanakan belum tentu menjadi kenyataan.
Kalimat terkenal di kampus dulu : "STAN bukan segalanya, tetapi segalanya bisa berawal dari STAN",
Kalimatku : "begitu juga kampus dan jurusan lain^^"
Kalimatku : "begitu juga kampus dan jurusan lain^^"
izin berbagi kak....
BalasHapus