![]() |
19 Juni 2011, pertama kali menginjakkan kaki di Wamena |
Hmmm....
Alhamdulillah, sudah setahun aku tinggal di Wamena, tepat
pada 19 Juni 2012 kemarin. Pada tanggal yang sama di tahun lalu, aku dan dua
orang temanku menginjakkan kaki pertama kali di Papua dan Wamena. Betapa
awetnya kenangan itu tersimpan di pikiranku hingga sampai sekarang aku masih
ingat apa-apa saja yang kami lakukan –juga keluguan- kami saat itu. Lalu,
melalui tulisan ini, aku ingin melakukan kontemplasi atas apa yang sudah
kulakukan selama ini disini. Pastinya, kita di masa depan adalah apa yang kita
pikirkan saat ini. Jika aku ingin hidupku lebih berarti disini, maka aku
menganggap mutasiku ke sini adalah anugerah dan misi-Nya. Sebaliknya, jika aku
menganggap ini sebagai cobaan, maka aku akan berpikir untuk segera pindah tak
peduli apa yang aku lakukan disini. Dua-duanya takdir, tinggal diriku yang
memilih.
Memang tak genap setahun sebenarnya aku disini. Cukup sering
aku melaksanakan tugas di kota lain dalam rangka dinas luar (DL). Sejak itu
pula, aku berkesempatan mengunjungi beberapa kota lain di Indonesia, yakni
Jakarta, Bogor, Bandung, Makassar, Jayapura, Biak dan Denpasar. Dua kota
terakhir hanya kuinjak bandar udaranya saja alias transit. Hehe. Yah, banyak
hal-hal dan kejadian yang bisa kudapat sejak aku ditempatkan di sini, yang
tentunya akan menambah khasanah wawasan dan pengalaman hidupku nanti. Seperti
kata orang bijak, satu ilmu penting yang tidak ada mata kuliahnya, yakni ilmu
hidup. Di bawah ini adalah beberapa hal penting yang berkesan dan yang ada di
pikiran setelah setahun berkarir di sini. Monggo
disimak..
1.
Menjadi ‘ibu’ rumah tangga itu nggak gampang
Pernah aku bercerita, bahwa aku sering
memasak di awal-awal penempatan. Aku dan dua orangtemanku waktu itu tinggal
serumah, dan kami bergantian melaksanakan kewajiban sebagai ‘ibu’ rumah tangga.
Lagipula saat itu, status kami di kantor masih magang, belum ada tupoksi jelas.
Namun, sejak September 2011, angin perubahan bertiup. Wusshhh....^^. Kami bertiga berpencar, masing-masing menempati satu
rumah sendiri-sendiri. Sejak saat itulah aku mulai jarang memasak, bahkan
memasak nasi pun kadang ogah-ogahan. “Ngapain juga masak kalau harus dinikmati
sendiri, toh harus repot-repot belanja bahan, perkakas sehabis masak harus
dicuci dll, ah repot!!”, begitulah yang ada di benakku.
Bukan hanya memasak, merawat rumah
sendirian pun tidak gampang. Aku harus menyapu, mengepel, mencuci piring,
mencuci baju, setrika, kuras bak mandi, rapikan taman, bersihkan meja-meja, dan
rotasi lokasi barang, semuanya sudah aku lakukan. Beberapa diantaranya harus
kulakukan minimal seminggu sekali. Aku kemudian berpikir dan melihat realitas, Oh my God..., ternyata perempuan yang
mau menjadi ibu rumah tangga adalah perempuan yang hebat dan tangguh. Meskipun
dijaman ini kita mengenal pembantu rumah tangga. Namun, peran ibu rumah tangga
toh masih ada, harus belanja kebutuhan-kebutuhan dan mengatur keuangan. Apalagi
tingkat kesulitan akan bertambah ketika mereka harus merawat dan mendidik
anak-anaknya. Sungguh, ini bukanlah pekerjaan main-main. Bagi ibu/istri atau
calon ibu/istri yang membaca tulisan ini, jika memang berniat stay di rumah saja, tolong jangan
katakan : Saya “hanya” ibu rumah tangga.
2.
Pengen banget buka warteg
Semenjak aku jarang masak, aku makan
‘sembarangan’. Pola makanku juga jadi tidak teratur. Kadang pagi nggak sarapan,
hanya minum susu. Kadang malamnya yang nggak makan, langsung tidur aja. Maklum
saja, harga makanan di sini sangat mahal. Kalau harus makan di warung terus
lengkap dengan nasinya, sehari bisa minimal Rp60.000 (tiga kali makan). Jadi
daripada demikian, maka aku memasak nasi sendiri, lauk dan sayurnya baru beli
di warung. Sehari bisa 35-40rb.
Namanya juga laki-laki, terkadang karena
posisi warungnya yang jauh, aku jadi ogah-ogahan pula. Otomatis, mie instan
yang dulu pernah satu setengah tahun tidak kumakan, akhirnya kumakan juga. Tapi
nggak rutin juga, kujatah, seminggu maksimal dua kali makan mie instan. Camilan
juga jarang tersedia, camilan paling murah adalah gorengan, itupun sebiji ada
yang Rp1000 (kecil) dan ada yang Rp2000 (standar). Cadangan telur satu rak (50
biji) juga harus selalu siap sedia di dapur. Kalau pagi malas keluar, bisa
goreng telur saja. Hehe
Dulu saat aku masih kuliah aku berpikir,
“wah kalau aku dah kerja nanti, aku nggak bakalan kepikiran harga makanan, apa
yang kumau tinggal santap”. Namun, di Wamena ternyata aku takbisa
mewujudkannya. Hiks....
Salah satu temenku sudah mempunyai usaha sampingan, yakni jasa angkutan orang dan barang ke luar kota. Modalnya sampai ratusan juta, aku sempet diajak tetapi aku tak punya modal saat itu. Aku juga ingin sekali buka usaha, yakni warteg. Salah satu alasannya adalah agar bisa makan gratis. Hehehe. Lagi nyari-nyari orang yang bisa masak nih..
3.
Rindu dunia pendidikan
Aku akan selalu antusias menuntut ilmu,
ningkatin potensi diri, bahkan mencoba keahlian-keahlian tertentu. Namun,
ternyata di Wamena, hal ini susah –kalau nggak boleh dikatakan tidak bisa-
diwujudkan. Aku ingin bisa bahasa inggris dan arab, tetapi di sini tidak ada
kursus tersebut. Aku ingin juga membaca indah dan menghafal Qur’an dengan
serius, tetapi sayang disini tidak ada liqo’ tahfidz maupun tahsin. Di
masjid-masjidnya pun tidak ada kajian rutin seperti di STAN dulu. Aku ingin
melanjutkan pendidikan ke S1, tetapi syaratnya harus kerja dua tahun dulu.
Maka, saat ini aku hanya bisa belajar otodidak. Inipun tidak mudah, karena
tidak ada Gramed atau toko buku yang selalu update.
Jadi aku harus ningkatin semangat diri ditengah lingkungan yang boleh
dibilang kurang mendukung. Selama ada keinginan, aku yakin Dia memberi
kemudahan. Namun, gak bisa dipungkiri lagi, aku jadi pengen banget balik ke
kampus lagi. Oiya, temen-temen ada yang punya link situs belajar otodidak
nggak? apa aja boleh deh... share ya..
Trims.
4.
Tuntutan kerja semakin banyak
Aku di kantor berposisi sebagai Supervisor,
istilah ini digunakan karena aku bertanggungjawab atas kelangsungan operasional
kantor dari sisi hardware, software,
dan jaringannya. Selain itu juga harus menangani sofkopi (ADK) Pagu dan Revisi
dari stakeholder. Sayangnya, aku tak
punya basic komputer. Namun,
kepercayaan dari atasan harus kujawab dengan baik, tentu dengan belajar sendiri
serba-serbi komputer ini. Masalah-masalah sering datang menghampiri, hampir
setiap hari kerja aku tak bisa tenang. Apalagi aku merangkap sebagai Petugas
Pembuat Administrasi Belanja Pegawai (PPABP) alias yang bikin daftar Gaji dan
Tunjangan untuk para pegawai di kantor. Aku juga –masih- sebagai pengelola
aplikasi barang (SIMAK), mengelola aplikasi kepegawaian, membuat SPM DBH PBB,
membuat laporan-laporan bulanan, triwulanan, dan semesteran. Jadi setiap awal
bulan, maksimal tanggal 10 aku harus memastikan semua laporan jadi dan terkirim
ke Kantor Wilayah.
Bukan Bambang namanya kalau tak tertarik
mempelajari ilmu-ilmu lain. Ciye... Di kantor aku juga berinisiatif menjadi fotografer,
desainer, dan pengelola web. Desain grafis jelas, karena aku suka dan
menggemarinya. Fotografi, aku juga suka dan penasaran, ini bisa dipelajari
dengan otodidak. Yang terakhir ini aku bener-bener bingung. Web www.kppnwamena.net sudah ditinggalkan
pengelolanya yang dimutasi sejak September 2011 lalu, dan sekarang belum ada
pegawai yang mau mengelolanya. Karena aku penasaran dengan desain web ini aku
mengajukan diri sebagai pengelolanya. Sayangnya, ternyata susah juga mengotak-atik
desainnya, meski aku sudah membaca berkali-kali buku tentang itu. Kalau nulis
isinya sih InsyaAllah bisa. Akan tetapi, sepertinya desain web nya sepertinya
terlalu ribet. Trus gimana dong sekarang... ^^
5.
DL adalah refreshing
Selama setahun di sini, aku sebenarnya
sudah cukup sering melakukan perjalanan ke kota-kota lain yang sudah aku sebutin
di atas. Bagiku, selain untuk menunaikan tugas dan berimbas bertambahnya
tanggungjawab pekerjaan, kesempatan melaksanakan dinas luar adalah
sebenar-benarnya refreshing. Bagaimana
tidak, aku bisa ke Jawa gratis, bisa makan gratis dan enak, tidur di tempat
yang nyaman, dan bertemu dengan banyak teman seangkatan. Terlebih lagi, aku
bisa jalan-jalan dan tentunya pulang kampung. Ongkos Wamena ke Jawa yang
terhitung mahal (PP minimal 6 juta) membuat aku sulit bolak-balik ke Jawa tanpa
persiapan matang. Maka, ketika ada kesempatan ke Jawa dan dibiayai penuh oleh
negara -ke tempat lokasi acaranya saja biasanya di Jakarta, aku putuskan untuk
mampir di rumah –dengan biaya sendiri-.
Aku juga pernah ke Makassar, kuputuskan
untuk jalan-jalan dan refreshing saat
akhir pekan setelah dinas luar. Kukunjungi Trans Studio, Pantai Losari, dan
Mall Panakukang bersama Fani Pramuditha Nugraha –temenku di DJP, dan tentunya
mencicipi kuliner setempat
Lebih dari dua bulan terakhir ini aku nggak
dipanggil dinas luar. Jadi kangen... ^^
6.
Kantor adalah rumah kedua
Pada hari-hari kerja, ternyata aku lebih
lama berada di kantor daripada di rumah dinas. Jam kerja sebenarnya adalah
pukul 07.30 – 17.00 WIT, dengan waktu istirahat. Namun, seringnya aku pulang
minimal jam 20.00 WIT, mengapa? Pertama, setelah jam absen pulang, aku bisa
berbincang-bincang dengan temen-temen pegawai. Kedua, jam 17.40 sudah adzan
Magrib, kalau harus pulang ke rumah dinas yang berjarak 300 meter dari kantor,
ya tidak efektif. Ketiga, aku harus melakukan pekerjaan yang hanya bisa
dilakukan setelah operasional kantor sudah selesai, yaitu mem-backup database dan mengirim data
transaksi hari itu. Keempat, di rumah aku nggak punya kerjaan lain, sedangkan
di kantor aku bisa berinteraksi dengan sahabat dan teman-teman via internet.
Soalnya, waktu istirahat banyak temanku di WIB adalah bertepatan pukul 19.00 di
sini (WIT).
Lama di kantor dan menghadap komputer,
bukannya tanpa efek. Punggungku sering pegal-pegal, mata juga sering tetep
pedes setelah bangun pagi. Aku sadar, pola hidup ini harus diperbaiki.
Betahnya aku di kantor, tak lepas dari
suasana kantor yang akrab dan cair. Para atasan bersikap egaliter terhadap
bawahan, sesama bawahan saling bercanda dan berbagi. Dengan hanya 15 pegawai di
kantor (termasuk kepala kantor dan kepala seksi), membuat kami cukup mengenal
satu sama lain.
Masih
banyak yang ingin aku ceritakan, tetapi tampaknya segini saja sudah cukup
memberi gambaran pada kalian semua. Sebenarnya aku masih punya semangat, tak
layak aku mengeluh. Jika kulihat para pahlawan kita yang dibuang di kota-kota
terkecil, mereka tetap berkarya. Kuamati para pendatang dari Jawa ke Wamena
hanya berjualan sate penthol, jajanan, dan mainan keliling, bahkan jasa
perbaikan sol sepatu, mereka masih punya semangat. Kupandang beberapa orang alim, rela datang ke
distrik yang sepi, demi mengajar santriwan dan santriwati tentang Islam, mereka
sungguh punya semangat. Lalu, mengapa diriku harus menyerah?
Setahun
di Wamena, kadang aku berpikir, “wah, sudah setahun, tinggal berapa tahun lagi
ya....”. Namun, yang jelas kurasakan adalah apa yang sudah kulakukan sejauh
ini. Apa andilku bagi perkembangan agama dan pendidikan di tanah Papua ini. Sebenarnya
aku punya model. Ada seorang anak muda yang di awal era milenium berada pula di
sini, di kantor yang sama denganku saat ini. Namanya Arif Hermanu. Oleh
beberapa orang di sini, ia dikenal sebagai sosok yang alim, sering berdiam diri
(iktikaf) di masjid dan aktif di beberapa kegiatan. Aku hanya bisa bilang bahwa
sosok beliau menyisakan harapan sekaligus beban bagiku. Layaknya Umar bin
Khattab r.a yang menerima tampuk khalifah dari Abu Bakar As Shiddiq r.a, ia
lantas berkata: “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Sungguh dia benar-benar
membuat lelah orang setelahnya.” Aku berbeda dengan pak Arif, tetapi aku juga
ingin berbuat banyak di sini, meninggalkan kenangan indah bagiku dan bagi yang
kutinggalkan nanti. Semoga aku bisa menjadi Umar yang memberi sesuatu lebih
baik dari Abu Bakar. Amin. Cerita bersambung dua minggu kemudian, saat sang Abu
Bakar akan datang lagi ke Wamena.
busett yang jadi ibu rumah tangga itu ya. Berarti aku terbilang beruntung karena ada yang masakin dan ada yang nyuci ama nyetrikain nih. Wew...
BalasHapusitu dulu deh, mbang. Sisanya aku speechless nih
ehehehe.. besok2 tak aplod foto nya kami bertiga pas lagi masak deh bro.. buat kenang2an :)
BalasHapusditunggu lanjutannya mbang... :D
BalasHapus