Di
Pegunungan Tengah Papua masih ada denyut kehidupan. Kawasan yang topografinya
berupa bukit-bukit berlapis ini terdiri dari beberapa kabupaten/kota, di
antaranya adalah Kabupaten Jayawijaya. Jayawijaya yang beribukota di Wamena ini
merupakan pintu gerbang masuknya barang dari Jayapura sebelum didistribusikan
ke Kabupaten-kabupaten sebelah. Harga-harga yang telah penulis sampaikan pada
paragraf sebelumnya merupakan harga terkini di Wamena, bisa kita bayangkan
untuk di pintu masuk saja sudah sedemikian tingginya, bisa 2 s.d. 4 kali lipat
harga di Jawa. Lalu bagaimana lagi dengan harga di kabupaten-kabupaten lainnya?
Masalah
biaya hidup yang tinggi secara tidak langsung juga mempengaruhi psikologis
penduduk Wamena. Ketika mereka sedang pergi –berlibur atau mudik- ke Jayapura,
Makassar, atau bahkan Surabaya rasa-rasanya uang di dompet makin membesar, tak
habis-habis. Kondisi yang sangat berbeda yang mereka alami selama di Wamena. Meski
demikian, dari tahun ke tahun pendatang tak pernah habis. Mereka mencoba mengadu nasib dengan
berbagai keahlian yang mereka miliki. Ada yang menjadi penjual bakso, jajanan
anak, jam tangan, atau bahkan jasa perbaikan sol sepatu. Karena memperoleh
penghasilan di Wamena dengan standar harga barang atau jasa yang sudah mahal,
mereka mampu terus eksis bekerja. Lho, kan biaya produksinya juga pasti mahal
kan? Betul. Namun, margin keuntungan yang bisa mereka dapatkan masih lebih
tinggi daripada di tempat lain.
Lain
pedagang lain PNS. Profesi yang biasa dikiaskan dengan pelayan publik ini juga
banyak digeluti oleh penduduk di Wamena. PNS di Pegunungan dapat dikelompokkan
menjadi PNS Pusat, yaitu yang bekerja di satker vertikal kementerian/lembaga
dan PNS Daerah yang bekerja di SKPD. Gaji Induk yang diterima tiap bulan oleh
kedua jenis PNS ini sama, sesuai PP tentang Gaji PNS yang ditetapkan Presiden.
Beberapa PNS Pusat mendapat tunjangan tambahan karena bekerja di
Kementerian/Lembaga yang telah mendapatkan remunerasi. Namun, seperti yang umum
diketahui, remunerasi ini bukan bersifat lokal, tetapi merata diberikan kepada
seluruh PNS dalam kementerian tersebut. PNS Daerah berbeda, meski tidak
mendapatkan remunerasi, tetapi mereka mendapatkan tunjangan yang sifatnya lokal
yang sering disebut dengan insentif. Insentif yang ditetapkan oleh Bupati ini
tentunya sudah memperhitungkan indeks harga barang dan biaya hidup yang harus
ditanggung oleh PNS tiap bulan. Yang penulis ketahui, untuk PNS Pemda Jayawijaya, golongan II dapat mengantongi insentif sebesar Rp
5.000.000,- per tiga bulan. Nilai yang sangat cukup menyejahterakan. Nilai ini bisa
lebih tinggi lagi di Kabupaten lain yang lebih terpencil.
Seperti yang kita ketahui, dalam pemerintahan SBY yang
hampir sembilan tahun, tiap tahun gaji PNS selalu dinaikkan. Data KPPN Wamena
mencatat ada beberapa satker yang merupakan PNS Pusat di Pegunungan Tengah
Papua, yaitu satker dari Mahkamah Agung, Kemenag, Lapas, Kejaksaan, Kemenkeu,
Kemenhub, Kemenhut, PU, Polri, KPU, BPS, dan LPP RRI. Jika anda bertanya kepada
PNS dari satker-satker tersebut, satu hal yang sebenarnya mereka sesalkan
adalah tentang tidak pernah dinaikkannya Tunjangan Khusus Papua PNS (511138) dan
Tunjangan Daerah Terpencil/Sangat Terpencil PNS
(511135) padahal dua unsur gaji ini melekat di gaji induk yang selalu
dibayarkan tiap bulan. Menurut aturan yang mendasarinya, kedua tunjangan ini
tidak dihitung berdasarkan persentasi dari gaji pokok seperti tunjangan istri
dan anak, tetapi telah ditetapkan nominalnya. Maka ketika selama satu dekade
lebih tidak pernah dinaikkan nominalnya, pantaslah mereka mengeluh. Berbeda
dengan PNS Daerah yang mendapat insentif, penghasilan yang PNS Pusat terima semuanya
sama seperti teman-teman mereka di luar pegunungan tengah jika dikurangi unsur
dua tunjangan yang telah penulis sebutkan di atas. Emang berapa toh besarnya? Masih
kurang?
apa saja naik pesawat |
Tunjangan Khusus Papua yang terakhir diatur dalam Keppres
No. 68 tahun 2002 menyebutkan bahwa kepada PNS, Hakim, Anggota TNI, dan Anggota
POLRI yang bekerja/bertugas pada daerah provinsi Papua di atas penghasilan yang
berhak diterimanya, diberikan tunjangan khusus provinsi Papua setiap bulan.
Keppres yang ditandatangani oleh Ibu Megawati Soekarnoputri itu menetapkan
besaran nominal Tunjangan Khusus Papua bagi PNS sebagai berikut:
Gol/Ruang
|
PNS
|
Gol/Ruang
|
PNS
|
I/a
|
200,000
|
III/a
|
425,000
|
I/b
|
225,000
|
III/b
|
450,000
|
I/c
|
250,000
|
III/c
|
475,000
|
I/d
|
275,000
|
III/d
|
500,000
|
II/a
|
300,000
|
IV/a
|
525,000
|
II/b
|
325,000
|
IV/b
|
550,000
|
II/c
|
350,000
|
IV/c
|
575,000
|
II/d
|
375,000
|
IV/d
|
600,000
|
Keppres
tentang Tunjangan Khusus Provinsi Papua yang ditetapkan tanggal 31 Agustus 2002
dan mulai berlaku sejak tanggal ditetapkannya ini sampai sekarang belum
dilakukan perubahan. Barangkali nilai uang dari tunjangan ini sangat tinggi
pada tahun itu, tetapi seakan tak begitu berarti di tahun 2013. Dengan
diterbitkannya Keppres ini maka Keppres Nomor 31 tahun 1985 tentang Tunjangan
Khusus Irian Jaya tidak berlaku lagi, besaran dari Keppres Nomor 31 tahun 1985 dihitung
dari presentase terhadap gaji pokok, sebagai berikut:
1.
Golongan
I sebesar 63%,
2.
Golongan
II sebesar 70%,
3.
Golongan
III sebesar 76%, dan
4.
Golongan
IV sebesar 79% dari gaji pokok.
Pemakaian
presentase seperti yang dulu menurut hemat penulis tampak lebih manusiawi
daripada jika menggunakan tarif nominal tetapi tidak pernah dirubah. Perubahan
tiap tahun menjadi sulit dilakukan karena ditetapkan oleh Presiden yang saat
ini dikenal dengan Peraturan Pemerintah. Menteri Keuangan Agus D.W.
Martowardodjo saat berkunjung ke Makassar, pernah menyinggung hal ini, kurang
lebih beliau mengatakan bahwa seandainya besaran tunjangan Papua hanya
ditetapkan dengan PMK, saat itu juga beliau siap menandatangani. Karena harus
diatur dengan PP, beliau hanya mampu mengusulkan.
Tunjangan
Khusus Wilayah Terpencil mengalami nasib serupa, bahkan lebih parah lagi.
Tunjangan ini terakhir kali diatur dalam Keputusan Presiden Nomor: 34 tahun
1996 tentang Tunjangan Pengabdian bagi Pegawai Negeri yang bekerja dan
bertempat tinggal di Wilayah Terpencil di Provinsi Daerah Tingkat I Riau,
Kalimantan Tengah, Maluku, dan Irian Jaya. Keppres ini tidak menyebutkan detil
penetapan daerah/desa mana saja yang bisa disebut terpencil, tidak menyebut
tata cara pembayarannya, pun tidak pula menyebutkan besarannya. Daerah-daerah
yang dinyatakan terpencil ditetapkan tersendiri dalam Keputusan Menteri Dalam
Negeri No. 136-49 tahun 1997 tanggal 15 April 1997, sedangkan pedoman pembayaran
diatur dalam Keputusan Bersama Menkeu, Mendagri, Menhankam, dan Kepala BAKN
Nomor 677/KMK.03/1996, Nomor 179A tahun 1996, No. KEP/09/X/1996, dan Nomor 37A
tahun 1996 tanggal 25 Oktober 1996, khusus pembayaran di Provinsi Papua
berpedoman pada Keppres 13 tahun 1992 –aturan tunjangan terpencil sebelumnya-
sebagaimana diatur dengan Surat Bersama Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur
Jenderal PUOD No. S-3190/A/44/0796 dan No. 841/1941/PUOD tanggal 31 Juli 1996.
Lalu, untuk besaran tunjangan penulis hanya dapat menemukan aturan yang
mengaturnya bagi wilayah terpencil di Provinsi Daerah Tingkat I Irian Jaya
yaitu Surat Bersama Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur PUOD nomor:
SE-83/A/43/0697, nomor: 841.81/1674/PUOD tanggal 27 Juni 1997 dengan nominal
sebagai berikut:
1.
Golongan
I sebesar Rp 75.000,
2.
Golongan
II sebesar Rp 100.000,
3.
Golongan
III sebesar Rp 125.000, dan
4.
Golongan
IV sebesar Rp 150.000.
Sama
nasibnya dengan Tunjangan Khusus Papua, tunjangan yang dengan
blak-blakan menggunakan kata “pengabdian” ini juga belum diubah sampai
sekarang. Bayangkan saja, uang yang mungkin ada artinya di tahun 1997 itu jika
digunakan pada tahun 2013 ini langsung habis hanya untuk makan dalam sehari.
Penulis juga masih ingat pada tahun itu uang logam Rp25,- adalah mata uang
terkecil yang masih beredar. Bandingkan dengan sekarang yang nilai terkecilnya
adalah Rp100,- . Bahkan di Jayawijaya, saat ini uang koin/logam Rp 500,- ataupun Rp 1000,- sudah tidak dipakai lagi.
Entah
sampai kapan usaha PNS di pegunungan tengah
akan menemui hasil. Mungkin tahun depan, atau beberapa tahun ke depan,
atau malah baru berubah ketika kami sudah pindah. Untuk mengupayakan
peningkatan Tunjangan Khusus Papua ini KPPN sebagai perwakilan dari Kemenkeu
juga telah berperan aktif menyampaikan masalah ini ke Menteri Keuangan bersama
dengan KPPN lain se-Papua, dengan jawaban seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya. Sementara itu, mengenai Tunjangan Daerah Terpencil/Sangat Terpencil,
kami bersama-sama dengan satker vertikal lain juga hampir setiap tahun
menandatangani usulan perubahan kepada Bupati Jayawijaya untuk diteruskan ke
Pemerintah melalui Mendagri. Namun, sampai sekarang belum menemui hasil. Padahal
besaran Tunjangan Daerah Terpencil/Sangat Terpencil di atas hanya diatur dengan
Surat Bersama antara Direktur Jenderal Anggaran dan Dirjen PUOD bukan PP.
Komplikatif,
itulah yang dirasakan oleh PNS Pusat di Pegunungan Tengah Papua ini. Selain
masalah harga barang dan jasa yang berbeda jauh dari tempat lain di Indonesia,
juga masalah keamanan dan mahal-sulitnya transportasi. Anda ingin kami menabung
biar hemat? sudah tentu kami lakukan. Akan tetapi, uang hasil tabungan itupun
langsung terkuras saat kami yang merupakan pendatang ingin sekali dua kali
menemui sanak famili di Pulau lain. Bukan berniat membandingkan atau bahkan iri
hati, tetapi penghasilan PNS Pusat yang masih bertarif “Jawa” ini kalah jauh
dengan PNS Daerah atau bahkan tertinggal dari pedagang/pengusaha yang sudah
bertarif “Papua”. Kenyataannya, beberapa PNS Pusat di Kabupaten-Kabupaten yang lebih terpencil seperti Puncak Jaya -yang sudah sulit atau tidak memungkinkan mutasi lagi- mengajukan diri untuk pindah menjadi PNS Daerah. Jika masih di vertikal, tak bisa hidup katanya.
Lahirnya
Peraturan Pemerintah No. 94 tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim
yang berada di bawah Mahkamah Agung cukup membuat penulis geleng-geleng kepala.
PP itu dengan gamblang menyebutkan bahwa Hakim yang berada di Zona III yaitu
Halmahera (Maluku), Wamena (Papua), dan Tahuna (Sulawesi Utara) mendapatkan
Tunjangan Kemahalan sebesar Rp 10.000.000,- tiap bulannya. Kalau PP ini bisa
diterbitkan –dan entah siapa yang mengusulkan, mengapa PP pengganti dari Keppres
No. 68 Tahun 2002 dan Keppres No. 34 tahun 1996 belum juga diubah?
Yang sabar gan, ane aja malah belum penempatan padahal udah 8 bulan lulus -______-
BalasHapusTulisan ini sepertinya ditulis dengan hati, makanya saya sebagai pembaca sampai tersentuh. Bagus sebagai gambaran untuk teman-teman lain di seluruh Indoneisa agar lebih bersyukur. Atau bahkan lebih 'berani' memilih menentukan nasibnya sendiri seperti komen di atas ane yang 8 bulan tidak ada kabar itu. :)
BalasHapus@anonim: InsyaAllah. kami hanya bisa berusaha, bagaimana mungkin ada yang tertarik ke Papua jika masalah kesejahteraannya tidak pernah dibahas oleh pimpinan? memperhatikan Papua bukan hanya suku asli, tetapi mereka yang lahir dan besar di sana, atau yang bertugas di sana. Semoga segera penempatan bro..
BalasHapus@trianfe : ditulis pakai tangan kok bro. menentukan nasib? saya masih dibutuhkan di sini
cocok ni di pulblish di web kemenkeu. ayo mas coba di link kesana..
BalasHapusnaikkan tunjangan pelosok sesuai laju inflasi
BalasHapusbrrt enakan pns daerah daripada pns pusat untuk wilayah papua ya gan? kab.pegunungan arfak gimana transportasinya?
Hapus