Bahagia
itu sederhana, yaitu ketika kita bisa membantu orang yang membutuhkan dan
ketika kita bisa memberi harapan kepada orang yang putus asa.
“Adek.. yang pinter ya biar besok gede
jadi dok..ter!”, itulah doa sekaligus penyemangat para ibu pada anaknya agar
rajin belajar. Sudah menjadi rahasia umum bahwa profesi Dokter memiliki gengsi
dan martabat yang tinggi di masyarakat kita. Banyak alasan dibalik itu, mulai
dari biaya kuliah yang selangit, setelan jas putih yang rapi lengkap dengan
stetoskopnya, tempat bekerja yang terhormat dan status mereka sebagai figur
penyelamat. Selain itu, dokter juga selama ini dikenal berpenghasilan besar dan
menjadi magnet bagi mereka yang baru lulus SMA. Sebagian besar dari kita juga
dengan mudah mengambil kesimpulan bahwa mahalnya biaya saat berobat di rumah
sakit tak lepas dari mahalnya jasa pengobatan dari sang dokter. “Kuliahnya saja
mahal dan berat, ya wajarlah kalau dibayar mahal”, itulah argumen tanpa
penelitian yang sering kita gunakan untuk hipotesa itu. Namun, benarkah
demikian faktanya? pun apakah dokter melayani hanya demi memperkaya diri?
Patutnya kita belajar lebih dulu dari seorang bermarga Nasution, sebut saja Tio (bukan nama sebenarnya), salah satu
dokter muda yang sudah setahun lebih mengabdi di Wamena, Papua. Kisah hidupnya
seakan mampu menjungkirbalikkan mindset kita
selama ini.
Dokter Tio
merupakan jebolan Universitas Andalas tahun 2004. Dari kehidupannya yang selama
ini nyaman di Padang dan Sumatera Utara, Ia dengan sadar memilih sendiri
datang ke Pegunungan Tengah Papua untuk menjadi PTT (Pegawai Tidak Tetap) di
salah satu Puskesmas di Kabupaten Yahukimo. Menariknya lagi, mengabdi di daerah
terpencil Papua sudah menjadi keinginannya sejak dulu. Bersama teman seangkatannya,
mereka bukan semata ingin menjadi dokter di daerah terpencil, tetapi juga ingin
memberi ‘sesuatu’ yang lebih bagi masyarakat bila perlu termasuk mengajar
anak-anak. Pilihan ini mungkin tidak masuk akal bagi kita, karena para dokter tidak
lagi berkewajiban menjalani ‘magang’ sebagai PTT, apalagi sampai harus meninggalkan
kampung halaman dan memilih Papua.
Pria gempal yang sebelumnya pernah
berkeinginan kuliah di Teknik Nuklir UGM ini bersama kedua orang temannya dr.
Rizka dan dr. Nina menjadi tenaga kesehatan di Puskesmas Distrik Kurima,
Yahukimo selama satu tahun sejak Maret 2012. Tidak adanya listrik, sinyal
seluler, dan susahnya mendapatkan air selama di tempat tugas menjadi pengalaman
yang tidak terlupakan bagi mereka bertiga. Tempat tugas pun sederhana, hanya
terbuat dari papan kayu bukan dinding tebal ber-AC ataupun berlantaikan
keramik. Mereka bertiga tinggal di rumah dinas di dekat puskesmas dengan bekal
makanan seadanya. Pada Jumat pagi mereka bertiga pergi ke Wamena, tinggal di
rumah seorang petinggi Dinas Kesehatan Yahukimo, kemudian membeli bekal bahan
makanan. Senin pagi mereka ke Kurima dan bertahan dengan bekal yang mereka bawa
itu sampai Kamis.
Pengalaman berkesan? tentu ada. Dokter Tio sering melayani pasien yang datang tanpa memakai baju dan hanya berkoteka
(penutup kemaluan pria khas pedalaman Papua), terpapar aroma kurang sedap, dan
melayani pasien yang hanya mampu berbahasa lokal. Kesabaran dan sikap
bersahabat menjadi senjata mereka selama di medan juang. Ketika pendatang bisa
menerima keadaan orang-orang Papua itu apa adanya, Tio merasa sebaliknya pula
mereka akan menerima pendatang sebagai bagian dari keluarga mereka. Menumbuhkan
rasa saling percaya antara pasien dan dokter menjadi perhatian bagi Tio dkk, agar
kata-kata mereka didengar oleh pasien yang notabenenya belum sadar hidup sehat.
Seringpula, saat tiba waktunya melaksanakan Posyandu di pos-pos yang lebih
terpencil lagi, Tio dkk harus berjalan kaki selama tiga atau lima jam dengan
medan bukit. Ini sudah pilihan Tio dkk, mereka menjalaninya dengan ikhlas dan
ceria.
Agar tujuannya ke Papua -memberi
‘sesuatu’- tercapai, Tio juga memutuskan untuk mendirikan Bulan Sabit Merah
Indonesia cabang Wamena bersama teman-temannya. Baginya, melalui lembaga
kemanusiaan, akan lebih banyak kebaikan yang bisa dilakukan untuk Papua.
Apalagi sebagai orang muslim, dia merasa saudara-saudara seimannya yang asli
Papua masih sangat terabaikan, keadaannya sangat jauh berbeda dengan muslim
pendatang. Belum lagi stigma yang sudah populer di lingkungan muslim kota
Wamena - sebagian besar adalah suku pendatang- bahwa muslim pedalaman Papua itu
sulit diarahkan, sulit berkembang. Stigma penuh keputusasaan itu ingin dia
kikis melalui BSMI. Bantuan-bantuan sosial, pengobatan gratis, maupun
penyaluran qurban dari BSMI cabang Wamena setidaknya dapat meringankan
kesulitan hidup masyarakat Papua termasuk yang muslim. Pengalaman menjadi
sekretaris BSMI cabang Padang saat masih kuliah membuatnya didapuk oleh
musyawarah pengurus menjadi Ketua.
Setelah menikah dan masa PTT nya
habis, Tio sempat kembali ke kampung halamannya di Medan. Namun, cintanya
pada Wamena dan Papua membuatnya kembali terbang ke ujung timur Indonesia itu,
mengabdikan diri untuk kedua kalinya dan mengembangkan BSMI Wamena yang masih
seumur jagung. Sebuah keputusan yang dilematis dan penuh pengorbanan, termasuk harus
berjauhan dengan istri -yang juga dokter- yang masih memiliki kontrak di sebuah
RS di Padang. Tawaran bekerja di RS di Jawa dan Sumatera pun akhirnya tak
dipilihnya demi tekadnya mengabdi di Papua. Pernah suatu hari ada orang
bertanya tentang gajinya, percakapan berakhir dengan kalimat “Wah kalau gaji
segitu mah gak perlu ke Papua,
mending di Sumatera aja!”. Visi hidupnya sebagai muslim tampaknya turut
berperan pula dalam pengambilan keputusan Tio ini. Sebagai orang yang besar
di dunia dakwah Islam, Tio merasa perannya lebih dibutuhkan di Wamena
daripada di Jawa atau Sumatera. Membantu muslim Papua berkembang dan memberikan
manfaat seluas-luasnya.
Sungguh tak mudah memutuskan lari dari
keindahan duniawi sementara di saat yang sama kita masih butuh dengan dunia.
Dokter juga manusia biasa yang tentu ingin periuk nasinya tetap mengepul. Tio
pun demikian. Sebagai anak keenam dari delapan bersaudara, ia masih harus
menanggung biaya kuliah kedua adiknya, mengirim uang setiap bulan bagi ayahnya,
dan menafkahi istrinya -meski ia dokter juga. Namun, Tio sepertinya sudah merasa
cukup dengan penghasilan yang sudah dan akan diperolehnya lagi di sini. Saat ini,
ia bersama seorang temannya telah berhasil lolos tes penerimaan sebagai PNS
Pemda Jayawijaya.
Dokter berkacamata ini memang hebat.
Selain melaksanakan profesinya dan menggerakkan lembaga kemanusiaan, ia juga
rajin menulis di blog pribadinya, rutin ngetwit,
BBM-an dan sering upload gambar di laman fesbuknya. Tak
heran jika dia juga up to date dengan
informasi-informasi kekinian. Ia juga menyimak kabar saat ada teman-teman
seprofesinya turun ke jalan dan berorasi di Bundaran HI dan Istana Negara
Jakarta tanggal 20 Mei 2013 lalu. Ia memaklumi dan mendukung aksi itu, keadaan
psikologis dan fisik dokter khususnya di Jakarta memang sedang tidak baik
karena program KJS yang bagus tetapi tidak dipersiapkan dengan baik.
Seperti yang telah diberitakan oleh
media, yang mereka perjuangan bukanlah dicabutnya KJS, tetapi adalah agar
kesehatan bukan lagi menjadi alat politik, saat kampanye semua kandidat
ramai-ramai menjanjikan program jaminan kesehatan bagi mereka yang tidak mampu tetapi
mereka lupa –atau memang tidak tahu- dengan keadaan dunia kesehatan sekarang
dan konsekuensi atas implementasi program. Saat pasien membludak –yang kurang
mampu juga sudah bisa ke RS- dokter, tenaga medis, seluruh karyawan, dan manajemen
RS mendapat tuntutan yang lebih banyak. Hal ini belum disiapkan sebelumnya,
misalkan menambah RS yang ada, menambah fasilitas atau ruangan rawat yang
cukup, dsb. Namun, ketika pasien dirujuk ke rumah sakit lain –bukan ditolak-
karena fasilitas di RS tidak memadai, yang disalahkan adalah dokter. Pun ketika
pasien memang sudah tidak memungkinkan untuk diobati karena sudah teramat
parah, dokter juga yang jadi kambing hitam. Belum lagi ketika ada beberapa
kasus gagal sembuh, tudingan malpraktik dan kasus hukum menjerat mereka.
Hal-hal ini juga membuat pilu hati Tio.
Ironis memang, bagaimana mungkin
dokter yang biasanya hanya menerima 30-40 orang sehari bisa maksimal jika kali
ini bisa mencapai 100 orang perhari. Padahal, dokter butuh berkomunikasi dua
arah, butuh waktu untuk mendiagnosis penyakit pasien, dan menentukan resep yang
tepat. Padahal jika dilihat dari kesejahteraan, para dokter yang sebagian besar
adalah PNS mendapat penghasilan yang tidak berbeda jauh dengan mereka yang
bukan dokter. Padahal, kita bisa saksikan, seringkali dokter harus menjalani
piket malam hari sementara PNS lain bisa nyenyak tidur. Dokter pun memiliki
resiko tinggi terpapar penyakit-penyakit menular seperti TBC, Demam Berdarah,
bahkan HIV/AIDS.
Tio sangat berharap nantinya tuntutan
teman-temannya yang saat itu menamai diri sebagai DIB (Dokter Indonesia
Bersatu) dapat dikabulkan oleh pemerintah pusat maupun daerah, termasuk
dinaikkannya anggaran kesehatan menjadi 5% dari APBN bukan 2% seperti sekarang
ini. Misalnya saja di Papua, sudah ada ahli bedah, tapi peralatan dan
ruangannya pun belum ada. Ada pula kisah seorang dokter gigi yang terpaksa
belajar mendadak tentang kedokteran umum karena tidak adanya fasilitas
penunjang di tempat ia bertugas. Menurut Presidium DIB, Agung Sapta Adi dalam
tuntutannya kemarin, idealnya anggaran kesehatan adalah sebesar 5 persen dari
APBN dan 10 persen dari APBD sesuai UU Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009.
Pendapatan dari cukai rokok juga seharusnya dimasukkan seluruhnya dalam
anggaran tersebut sebagai kompensasi dampak rokok bagi kesehatan masyarakat. Kepada
masyarakat luas, Tio berpesan agar tetap mempercayai dokter. Ia mengklaim kualitas
dokter kita sebenarnya tidak kalah dengan yang di luar negeri, hanya fasilitas
kesehatannya saja yang memang belum mendukung.
Kisah ini
seharusnya sudah cukup mengubah mindset kita, bahwa profesi dokter tidak selalu
indah. Dengan segala keahlian mereka yang didapat sejak di bangku kuliah,
koass, dan PTT, para dokter juga mempunyai pilihan untuk mengabdi dalam arti
yang sebenarnya pada masyarakat. Pilihan ini tidak mudah, mengingat konsekuensi
yang harus ditanggung. Ketika mereka sudah memutuskan untuk memilihnya, giliran
pemerintah dan masyarakat yang untuk melakukan kewajibannya. Pelajaran terakhir
nan berharga dari seorang Tio dapat kita ambil dari status
BBM-nya, “Bahagia itu sederhana, yaitu ketika
kita bisa membantu orang yang membutuhkan dan ketika kita bisa memberi harapan
kepada orang yang putus asa”.
Komentar
Posting Komentar