Il Diavolo Rosso | t2.gstatic.com |
Cerita berlanjut ketika aku menyaksikan langsung
pertandingan bola Liga Italia pertama kali. Aku lupa lawan Milan waktu itu,
yang jelas Milan mampu mendominasi pertandingan dan bermain sangat baik. Mulai
dari situlah, selera kakak sudah mempengaruhiku. Ternyata Milan layak didukung.
Hehe. Bukan hanya Milan, dia juga mengenalkan MU yang saat itu begitu tenar
dengan Beckhamnya. Jadilah aku secara tidak langsung menjadi seorang fans Milan
dan MU.
Juara Champion League musim 2002/2003 | http://stat.ks.kidsklik.com |
Il Tsar She7a | t3.gstatic.com |
Inzaghi berbeda dengan Sheva, dia pemain yang kurus dan suka diving. Selain terkenal dari tingkahnya berpura-pura jatuh di kotak penalti, Inzaghi juga terkenal sebagai raja offside. Sepertinya dia selalu ingin mengalahkan jebakan offside dari bek lawan. Yang paling membuatku sulit melupakannya adalah penempatan posisinya yang sungguh cemerlang. Tahu-tahu ada peluang, dia berada di posisi yang tepat. Enggak ada kontribusi sepanjang pertandingan, tahu-tahu membobol gawang. Sebagian besar gol Pippo (sapaan akrabnya) sepertinya bukan dikategorikan sebagai gol cantik, kalau gol beruntung mungkin. Haha. Yang aku herankan, faktor luck-nya sepertinya besar. Dapat peluang sekali atau dua kali, tetapi langsung bisa dikonversi jadi gol. Apalagi ia sering menjadi penyelamat di pertandingan-pertandingan krusial. Seperti saat mengalahkan Ajax di second-leg perempat final Liga Champion juga saat mempecundangi Juventus lewat sebuah gol yang masuk melalui kolong kaki Buffon di Liga Italia. Ia pemain yang selebrasi golnya meledak-ledak. Kadang dia memeluk pelatih, tetapi lebih sering berlari-larian menuju tribun penonton sambil berteriak-teriak. Haha. You’re so special Pippo
Aku benar-benar maniak bola waktu itu, padahal jika disuruh
bermain bola aku tidak lincah. Uang sakuku selama seminggu, kukumpulkan 500
demi 500 hingga mampu membeli tabloid Soccer seharga 3500. Ibu pernah
marah-marah, Ibu bilang ngapain tiap minggu beli tabloid, mendingan buat jajan
aja. Namun aku bergeming. Menikmati berita dan ulasan di tabloid sepakbola itu
sangat menyenangkan, kadang aku baca berulang-ulang. Bahkan poster-poster bonus
dari tabloid itu kutempel memenuhi dinding kamarku. Kalau itu gambar pemain
yang gak aku idolakan, ya aku simpan saja. Ketika aku harus mengikuti Pramuka
setiap hari Jumat sore, maka pulang sekolah sebelum Jumatan aku beli dulu Soccer di terminal. Lalu menunggu
Jumatan dan menunggu sore hari di masjid Agung Demak sambil mbaca tabloid ini. Maklum,
rumahku 10 kilo lebih dari sekolah. Sekali jalan naik bis 45 menit. Jadi kalau
harus pulang lalu berangkat lagi ya jadi malas, mending nunggu di deket sekolah
aja. Kadang juga sehabis Jumatan di sana aku mencari suasana lain yang tenang
seperti di mushola sekolah atau di belakang kelas, sendirian. Dari tabloid itulah wawasan ku tentang
serba-serbi sepakbola bertambah. Mulai dari logo klub, para pemainnya, pelatih,
negara, dan catatan statistik lain sangat aku kuasai. Bahkan sempat terpikir
ingin menjadi dokter, yang bekerja sebagai tim dokter dari sebuah klub
sepakbola di Eropa. wkwkwk. Sejak SMA kebiasaanku membeli tabloid aku kurangi.
Entah kenapa udah males mbacanya. Paling hanya ke perpus daerah jika memang
pengen.
Tahun ke tahun silih berganti. Ancelotti memberikan berbagai gelar prestisius bagi klub ini. Terutama keberhasilannya membawa Milan tiga kali ke putaran Liga Champion dalam lima musim, meski hanya dua kali menjadi kampiun. Musim 2002-2003 mampu mengalahkan Juventus lewat adu penalti, musim 2004-2005 kalah melalui adu penalti dari Liverpool, dan terakhir 2006-2007 dapat membalaskan dendam melawan The Reds 2-1. Saat bermain di Old Trafford melawan Juve di Final, sebenarnya Sheva bisa mencetak gol di babak extra time, tetapi dianulir oleh wasit. Maka kemenangan dari penalti begitu menggembirakanku, Dua musim kemudian, bertemu Liverpool di Istanbul. Malam itu menjadi mimpi buruk bagi para milanisti. Gol Maldini di menit pertama, ditambah dua gol lagi dari Hernan Crespo di babak pertama ternyata berhasil disamakan oleh Alonso, Smicer, dan Gerrard di babak kedua. Milan seperti kehilangan taji di babak kedua. Hingga akhirnya kemenangan di depan mati tadi harus pupus tatkala Sheva tidak berhasil membobol gawang Jerzy Dudek yang ‘joget-joget’ di babak penalti. Sayang sekali.. T_T.
Dua gol Pippo jungkalkan The Reds | i147.photobucket.com |
Untuk Liga Champion, aku benar-benar maniak waktu itu. Aku bukan hanya
menyaksikan laga-laga AC Milan, tetapi juga tim-tim lainnya wa bil khusus setelah
menginjak fase knock-out (gugur).
Dini hari jam 01.00 atau jam 03.00 aku sering bangun hanya untuk menyaksikan
pertandingan bola. Agar bisa bangun, maka yang kulakukan sebelum tidur adalah
berpesan pada Ibu (karena Ibu sering terbangun malam-malam), pasang alarm hape,
dan meminum air sebanyak-banyaknya (agar kantung kemih penuh saat sudah dini
hari). Cara ini cukup efektif. Namun, terkadang aku juga terbangun sebelum
waktunya, padahal selama ini aku terkenal tidak pernah bangun malam. Meski
esoknya ada ulangan di sekolah, aku memaksakan diri nonton. Dari jam setengah
tiga sampai pagi aku nggak tidur lagi. Kadang-kadang ibu menegurku, tetapi aku
beralasan udah tidur dari jam 20.00 malam harinya. Bangun tiap malam ini
membuatku berani waktu itu. Sebelumnya aku masih takut sendirian malam-malam,
takut ke kamar mandi, dll. Bukan pada maling, tetapi pada hantu (korban film
dan sinetron, haha), tetapi semenjak sering sendirian nonton bola, aku jadi
nggak takut lagi.
Pemain datang dan pergi silih berganti. Namun, ada beberapa
dari mereka membuatku sedih saat pergi. Dia adalah Sheva dan Kaka. Sheva pergi
duluan di musim 2006-2007 ke Chelsea. Denger-denger karena itu permintaan
istrinya Sheva dan krisis keuangan di Milan yang harus segera diatasi dengan
menjual aset panasnya. Kemudian kepindahan Kaka ke Madrid juga terlaksana
beberapa tahun kemudian, lagi-lagi karena masalah duit. Padahal sejak Sheva
pindah ke Chelsea, idolaku saat itu adalah Kaka. Yang berhasil menjadi topskor
dan pemain terbaik di Liga Champion 2007-2008. Kaka yang religius dan kalem ini
saat itu menjadi playmaker yang hebat. Gerakannya membawa bola benar-benar
eksplosif. Tendangannya dari luar kotak penalti juga kencang. Yang paling
kuingat dari pria Brasil ini adalah golnya ke gawang Van der Saar saat Milan
bertemu MU di Liga Champion. Saat itu Ricky Kaka berhasil membenturkan dua bek
MU sebelum menceploskan bola ke gawang dengan tenangnya. Kepergian mereka
benar-benar membuat Milan porak-poranda. Saat Sheva pergi, Milan susah mencari
gantinya, tetapi ada Kaka yang melejit. Setelah Kaka pergi, sampai sekarang
Milan belum menemukan sosok playmaker yang seperti dia. Maka, wajar bila
beberapa tahun pertama setelah kepergian Kaka, Milan puasa gelar selama dua atau
tiga tahun. Hiks...
Musim 2010-2011 menjadi era kebangkitan Milan, datangnya Ibrahimovic dan pelatih baru Massimiliano Allegri mengubah penampilan Milan. Strategi pelatih yang menyukai gelandang enerjik di tengah seperti Nigel de Jong dan Sulley Muntari terbukti ampuh membendung serangan lawan sebelum sampai ke lini belakang. Sentral back Thiago Silva menjadi tembok kokoh barisan pertahanan sehingga si plontos Abbiati tidak terlalu bersusah payah menahan tembakan. Di depan, Ibra menjadi momok yang menakutkan bagi lawan-lawannya dengan kekuatan fisik dan heading-nya. Kehebatan Milan terbukti maksimal kala melawan tim sekota Inter Milan, di laga yang kusaksikan bersama ratusan Milanisti di Hanggar Futsal Pancoran (Markas Milanisti Indonesia Pusat) Milan meraih kemenangan 3-0. Di penghujung musim, performa apik Milan diganjar scudetto ke 18. Selamat buat Mr. Max yang dapat merengkuh gelar di tahun pertamanya. Sayang, dengan skuad yang hampir tidak ada perubahan, di musim 2011-2012 Milan gagal adu lari dengan Juventus di klasemen. Selisih empat poin sudah cukup membuat Milan harus puas duduk di peringkat kedua di akhir musim.
Lagi dan lagi, Milan ditinggal beberapa pemain pentingnya yaitu Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva. Kedua pemain yang menjadi ruh permainan Milan saat itu harus cabut menuju Paris Saint Germain (PSG) di transfer musim panas. Belum lagi, perginya sejumlah pemain yang usai masa kontraknya dan termasuk para legenda cukup meninggalkan lubang menganga dalam tim. Nyesek juga saat melihat perpisahan mereka di laga kandang terakhir. Super Pippo Inzaghi memberi kado terakhirnya dengan gol kemenangan yang indah. Gianluca Zambrotta, Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Clarence Seedorf, juga turut meninggalkan San Siro.
Kepergian sebagian besar punggawa Milan, membuat klub ini tertatih-tatih di musim 2012-2013. Hadirnya The Little Pharaoh Stephan El Sharawy seolah menjadi pahlawan di musim ini. Di saat tim terpuruk, dia menjadi sosok yang terus disorot berkat produktivitasnya mencetak gol, padahal ia berposisi sebagai penyerang sayap. Kedatangan Super Mario Balotelli di paruh kedua musim menjadi angin segar untuk mengangkat tim. Tapi terlambat, buruknya penampilan tim sejak awal musim, harus dibayar dengan dicurinya mahkota scudetto oleh tim yang sedang bangkit dari tidur panjangnya, Juventus. Milan sudah harus cukup bersyukur atas suksesnya mereka merengkuh tiket terakhir Liga Champion alias peringkat ketiga klasemen akhir dengan kemenangan di partai terakhir. Sempat cemas juga sih, masak harus masuk Europa League.
Perbaikan demi perbaikan dilakukan di musim 2013-2014 termasuk dengan mendatangkan gelandang kreatif Ricky Kaka yang pernah mengecap manisnya gelar saat pertama kali bergabung, tetapi toh belum cukup ampuh mengangkat tim ini menuju kejayaaannya kembali. Malah, start Milan di awal musim adalah start terburuk sejak 1981/1982, saat mereka terdegradasi ke Seri B. Rossoneri kalah 0-2 di kandang sendiri saat menjamu Fiorentina. Hasil tersebut membuat Milan terlempar ke posisi 11 klasemen, mengumpulkan 12 poin hasil tiga kemenangan, tiga hasil imbang dan lima kali kalah. Pola permainan yang monoton dan sikap para pemain yang tidak bersemangat mengejar bola menjadi sebab. Akhirnya Mr. Max dipecat juga setelah kalah dengan tim promosi Sassuolo 3-4 di pekan ke-19. The Black Panther Clarence Seedorf ditunjuk menjadi suksesornya. Akankah Milan mampu bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari Roma dan Juventus di sisa musim ini? mari kita saksikan bersama.
Thanks Pippo | sidomi.com |
Lagi dan lagi, Milan ditinggal beberapa pemain pentingnya yaitu Zlatan Ibrahimovic dan Thiago Silva. Kedua pemain yang menjadi ruh permainan Milan saat itu harus cabut menuju Paris Saint Germain (PSG) di transfer musim panas. Belum lagi, perginya sejumlah pemain yang usai masa kontraknya dan termasuk para legenda cukup meninggalkan lubang menganga dalam tim. Nyesek juga saat melihat perpisahan mereka di laga kandang terakhir. Super Pippo Inzaghi memberi kado terakhirnya dengan gol kemenangan yang indah. Gianluca Zambrotta, Alessandro Nesta, Gennaro Gattuso, Clarence Seedorf, juga turut meninggalkan San Siro.
Kepergian sebagian besar punggawa Milan, membuat klub ini tertatih-tatih di musim 2012-2013. Hadirnya The Little Pharaoh Stephan El Sharawy seolah menjadi pahlawan di musim ini. Di saat tim terpuruk, dia menjadi sosok yang terus disorot berkat produktivitasnya mencetak gol, padahal ia berposisi sebagai penyerang sayap. Kedatangan Super Mario Balotelli di paruh kedua musim menjadi angin segar untuk mengangkat tim. Tapi terlambat, buruknya penampilan tim sejak awal musim, harus dibayar dengan dicurinya mahkota scudetto oleh tim yang sedang bangkit dari tidur panjangnya, Juventus. Milan sudah harus cukup bersyukur atas suksesnya mereka merengkuh tiket terakhir Liga Champion alias peringkat ketiga klasemen akhir dengan kemenangan di partai terakhir. Sempat cemas juga sih, masak harus masuk Europa League.
Perbaikan demi perbaikan dilakukan di musim 2013-2014 termasuk dengan mendatangkan gelandang kreatif Ricky Kaka yang pernah mengecap manisnya gelar saat pertama kali bergabung, tetapi toh belum cukup ampuh mengangkat tim ini menuju kejayaaannya kembali. Malah, start Milan di awal musim adalah start terburuk sejak 1981/1982, saat mereka terdegradasi ke Seri B. Rossoneri kalah 0-2 di kandang sendiri saat menjamu Fiorentina. Hasil tersebut membuat Milan terlempar ke posisi 11 klasemen, mengumpulkan 12 poin hasil tiga kemenangan, tiga hasil imbang dan lima kali kalah. Pola permainan yang monoton dan sikap para pemain yang tidak bersemangat mengejar bola menjadi sebab. Akhirnya Mr. Max dipecat juga setelah kalah dengan tim promosi Sassuolo 3-4 di pekan ke-19. The Black Panther Clarence Seedorf ditunjuk menjadi suksesornya. Akankah Milan mampu bangkit dan mengejar ketertinggalannya dari Roma dan Juventus di sisa musim ini? mari kita saksikan bersama.
Yang jelas, aku menjadi fans Milan sampai sekarang. Setelah memasuki era jejaring sosial dan internet, berita-berita bola jadi mudah dicari, aku bisa mendapat segala hal tentang Milan bisa
kudapat tanpa perlu membeli tabloid lagi. Aku pun bisa mengikuti
berita-berita dari Fans Page Milanisti Indonesia. Sampai disini, semua sudah tahu bahwa
Milan adalah sebuah klub luar biasa, pemegang titel terbanyak kedua di Liga
Champion dan Italia. Tidak hanya itu, suasana kekeluargaan di dalamnya mulai
dari pemain, pelatih, official, presiden sampai fans-fansnya pun begitu kental.
Maka, aku dengan pede menyatakan bahwa aku bangga menjadi Milanisti.
Forza Milan!!
Komentar
Posting Komentar