Jakarta, dibenci dan dicintai


Sungguh tak adil melihat suatu hal hanya dari satu sisi, karena beberapa sisi yang dimilikinya menyebabkan utuhnya hal tersebut. Ketika kita melihat sekeping uang logam Lima Ratus Rupiah misalnya. Kita hanya melihat Burung Garuda di satu sisi, kita bisa saja menyimpulkan koin itu tiada artinya, tak ada manfaatnya. Namun ketika kita melihat di sisi lainnya, ternyata kita tahu bahwa koin itu bernilai Rp 500,00. Kita bisa membelanjakannya, menginfaqkannya atau hanya memenuhi celengan Semar kita. Diharapkan dengan melihat dua sisi atau sudut pandang yang berbeda, kita bisa lebih bijaksana dalam mengambil keputusan. Begitupun dalam melihat DKI Jakarta, Ibukota kita.
Dengan umur yang sudah mencapai 483 tahun di 2010 ini, Jakarta memang sudah begitu berkembang. Gedung-gedung tinggi menjulang, membuat orang mendongakkan badan sekedar untuk mencermati tingginya. Jalan-jalan bersimpangan di mana-mana, membuat orang sering tersesat jika melewatinya (termasuk saya). Taman-taman dan jalur hijau dibangun sedemikian cantiknya, meski masih sedikit tetapi mampu melengkapi keindahan kota ini. Dilihat dari segi sosialnya, perkembangan Jakarta sangat signifikan. Urbanisasi yang gila-gilaan terjadi pada kota ini. Kaum pendatang dari Jawa dan pulau-pulau lain, ikut membuat penuhnya kota ini. Apakah hanya sekedar untuk mencari ilmu, kerja, atau tak mencari apa-apa karena hanya ikut-ikutan saja. Mereka datang tak mengenal waktu, meski musim arus balik lebaran lebih mereka sukai. Rumah-rumah banyak didirikan, baik yang menurut saya cukup layak ditinggali oleh makhluk bernama homo sapiens atau hanya layak ditinggali oleh spesies lain, baik yang berada di tanah bernilai ratusan juta rupiah atau hanya di tanah tak berpenghuni bersertifikat ‘milik negara’. Mobil dan motor berseliweran di mana-mana, baik yang tercanggih sekalipun dengan standar pembuangan euro 4 yang ramah lingkungan ataupun yang sudah berumur hingga kentut-kentut terus yang membuat semakin banyak orang menutup hidungnya. Perkembangan-perkembangan dari waktu ke waktu menurut saya kadang terlalu menindas kota ini.


Jakarta dibenci dan dicintai. Begitu banyak alasan yang membuat kota ini layak dibenci. Akhir-akhir ini, entah mengapa saya pun turut membencinya, mungkin karena saya harus berkutat dengan jalanan Jakarta lebih sering setelah sebelumnya mengenyam nyamannya daerah Bintaro, Tangerang Selatan. Yap.. Alasan pertama membenci Jakarta adalah jalanannya. Menurut saya, jika jalanan Jakarta disambung memanjang seluruhnya, bisa mencapai panjang pulau Sumatera dan Jawa. Berlebihankah? Mungkin iya karena saya hanya mengira-ira. Namun, tak ada yang menyangkal bahwa jalan-jalan di Jakarta memang banyak dan rumit sekali, orang Jakarta asli pun mengamininya. Entah hanya saya saja yang sering khawatir tersesat jika menunggangi motor di Jakarta atau mungkin juga yang lainnya. Akan tetapi, silakan tanya pada para pedagang atau tukang ojek ditepi jalan-jalan dekat persimpangan, berapa banyak orang yang bertanya arah jalan pada mereka. Kemudian penyebab bencinya banyak orang pada Jakarta adalah kemacetan yang sering terjadi, jumlah jalan yang banyak tidak berbanding lurus dengan lebar jalan sedangkan kendaraan yang melaju di atasnya begitu banyaknya. Menurut salah satu sumber yang pernah saya baca, setiap harinya ada sekitar 200 sepeda motor yang terjual di Jakarta. Mobil-mobil pun juga bertambah banyak, tak bisa dipungkiri jika Indonesia masih menjadi pasar yang menjanjikan bagi produsen-produsen kendaraan bangsa Barat dan Asia Timur. Apapun merk, kualitas, maupun harganya, semuanya pasti terjual. Hartawan-hartawan yang mereguk penghasilan lebih dari rata-rata secara umum segera menentukan pilihan untuk membeli mobil pribadi, tak memandang apa efek sampingnya. Bahkan yang tidak habis pikir, mobil2 bergenre sporty, mewah, dan super cepat sekelas Ferrari, Mercy, dll juga sering saya temui. Ibarat ikan hiu ditaruh sungai, tak lagi buas tapi malah berhenti bernafas. Saya cukup salut pada Pak Sutiyoso pencetus Bus Transjakarta (baca: Busway), meski ditengah cercaan kala itu, ia konsisten untuk membangun transportasi massal yang murah meriah, sebenarnya ini solusi jika mau dimengerti, tapi mereka yang bergaji tinggi masih menutup telinga dan mata sendiri.

Banjir adalah efek samping dari banyaknya pembangunan di Jakarta. Makin banyak bangunan yang dibangun, maka makin sedikit area serapan dan makin sempitnya drainase ibukota. Contoh gampangnya adalah area di kampus. Warga Kalimongso di dekat STAN beramai-ramai membangun kost-kost baru sebagai sumber penghasilan mereka, tapi menurut saya terlalu berlebihan, ada lahan sedikit saja langsung dibuat kost, tanpa memperdulikan efek jangka panjangnya, suasana yang semakin kumuh dan banjir jadi sering menggenangi area dekat kampus STAN ini. Itu di sekitar STAN yang masih di Tangerang Selatan, bagaimana halnya di Jakarta? Sulit sekali ditemui lahan-lahan kosong yang sebenarnya bisa jadi tempat bermain bola anak-anak mereka. Sebuah efek domino, setiap terjadi banjir kemacetan akan bertambah parah, penyakit pun semakin mewabah, dan roda ekonomi pun menghadapi sinyal merah. Ya, macet dan banjir menyebabkan aktifitas perekonomian bisa lumpuh, SDMnya bisa jadi tidak lagi seproduktif dulu karena banyaknya waktu dan energi yang dihabiskan di jalan. Memang seperti inilah wajah Ibukota kita.

Masalah lain yang juga merupakan dampak dari masalah-masalah di atas adalah kebersihan dan keamanan. Di lingkungan yang padat penduduk seperti Jakarta, rumah-rumah didirikan tanpa memperhatikan standar kebersihan, setiap fajar saya sering menemui tikus-tikus besar berkeliaran menyeberang jalan kecil di perkampungan warga Jakarta dan sekitarnya, suatu yang tidak pernah saya temui di kampung saya. Air got Jakarta sudah benar-benar menghitam dan berbau busuk jika tertiup angin. Sampah-sampah pun menumpuk di mana-mana, bahkan di dekat area-area umum seperti pasar, stasiun, terminal, dan sekolah. Debu-debu dan asap-asap jalanan pun sering membuat mata memerah. Namun hal itu tampaknya diabaikan oleh kita semua yang sudah sibuk dengan urusan kita. Salah satu indikatornya adalah banyaknya para pedagang kaki lima seperti bakso, gorengan, nasi goreng, dan ayam goreng sering sekali mendirikan tempat jualan di tepi jalan, terutama pada malam hari. Meski menurut saya kurang higienis, tapi ternyata banyak juga kok yang beli. Berarti kebersihan bukan jadi prioritas lagi di sini atau standarnya memang telah terkurangi karena tak ada pilihan lagi. Saya pernah makan di warung ayam dan lele goreng dekat jalan. Awalnya biasa saja, karena perut memang sudah lapar jadi saya pesan satu porsi pecel lele. Ketika menunggu masakan disajikan, barulah saya heran luar biasa, semilirnya angin malam hari membawa partikel-partikel berbau busuk. Astaga, ternyata warung beralaskan kayu ini berdiri di atas sebuah got dimana di sisi sebelah kanan warung, got nya tidak ditutup sama sekali. Karena sudah terlanjur dibuatkan akhirnya saya tetap memakannya sambil menahan bau air got yang sudah menghitam. Pengalaman berharga tampaknya. 

Keamanan di Jakarta juga semakin mengkhawatirkan. Ketika saya dan teman-teman mencari kost pasti kami bertanya “Aman gak di sini?”, seolah mempertegas bahwa memang maling, copet, dan perampok berada di mana-mana. Di tempat-tempat umum selalu tertulis “hati-hati dengan barang bawaan anda” dan ada juga tempat penitipannya. Dari ilmu yang saya pelajari di SMA, para pelaku kejahatan itu adalah para pendatang yang belum mempunyai keahlian tetapi nekat ke Jakarta (dampak urbanisasi). 


Masalah sosial lainnya adalah banyaknya preman, gelandangan, pengemis, dan peminta sumbangan di Jakarta. Ironisnya, mereka menjadikan perbuatan rendahan itu sebagai profesi. Padahal Nabi yang membawa ajaran yang saya yakini pernah berujar bahwa harta yang didapatkan dari meminta-minta adalah haram jika sebenarnya mereka masih mampu bekerja, apapun pekerjaannya. Anak-anak mereka pun terenggut masa depannya karena sejak kecil mereka paksa untuk membantu mereka. Memang pekerjaan meminta-minta menghasilkan uang yang cukup untuk mencukupi kebutuhan mereka sehari-hari. Dari info yang pernah saya dapat, tiap hari minimal Rp 50.000 mereka dapat, bahkan jika lagi mujur misallnya hari Jumat bisa nyampe 100 ribu lebih. Bukankah jika dihemat uang sebanyak itu dalam sehari bisa untuk modal kerja kecil-kecilan misal jual sayur, etc? Ah, saya tidak punya kapabilitas jika harus menghakimi apakah mereka bersalah atau tidak berdasar norma-norma yang ada, yang jelas terkadang mereka sebenarnya tidak semiskin penampilannya di jalanan. Preman pun menjadi masalah kota ini. Mereka meminta pungutan2 dari pedangang2 kaki lima di pasar2 tradisional, ternyata pungutan liar ada di mana-mana kan, bukan hanya di birokrasi !??!?!?. Peminta sumbangan mungkin menjadi salah satu modus penipuan masa kini. Meskipun sebenarnya masih ada juga peminta sumbangan yang benar-benar sebagai duta dari masjid kampungnya untuk mencari dana, tapi jika hal semacam ini ada di Jakarta, saya sudah mulai bingung membedakan mana yang jujur mana yang hanya bohongan. Lha wong minta sumbangan kok tiap hari? Masjid atau panti asuhannya mau dibangun semegah apa sih? Jujur saja, menurut saya penipuan macam ini cukup merendahkan martabat agama saya.



Hal-hal di atas adalah beberapa hal terkait minusnya kota Jakarta yang membuat orang berpikir banyak untuk terus menetap di kota ini. Bagi anda yang melihat kota ini hanya dari televisi saya sarankan anda sekali-kali mampir di Jakarta, berkelilinglah dengan Bus Transjakarta disaat musim penghujan untuk melihat Jakarta sebenarnya. Namun, Jakarta ternyata masih menjanjikan bagi sebagian besar orang, berarti masih ada juga sisi positif yang mereka rasakan saat berada di sini. Apa saja itu?



Yang pertama, Jakarta sebagai kota metropolitan masih menjadi lahan subur bagi mereka yang ingin bekerja. Pekerjaan apapun bisa anda temui di Jakarta, baik yang bertempat di gedung-gedung mewah nan menjulang maupun di emperan-emperan jalan dan di tumpukan sampah. Tak heran jika tiap tahunnya banyak sekali kaum pendatang khususnya dari Jawa yang mengadu nasib di Jakarta. Yang bisa dipelajari dari ini mereka adalah semangat untuk bekerja sangatlah tinggi dan sikap keramahan antar mereka. Perempuan cantik bersepatu hak tinggi, laki-laki gagah berdasi nan wangi ternyata mereka hanyalah kaum pendatang yang tinggalnya di kontrakan kumuh bersatu dengan orang-orang yang tiap harinya hanya bekerja serabutan dan menjual es keliling. Mereka melakukan itu semua demi anak-anak mereka di kampung halaman. Mereka merasakan kebersamaan berjuang di tengah sulitnya hidup di ibukota. Memang beberapa di antara mereka sudah tinggal di apartemen atau rumah bernilai 1 milyar, saya pastikan bahwa itu hanyalah potret kecil dari kota metropolitan ini. Jangan ukur Jakarta hanya dari sisi itu. Keramahan juga terlihat ketika mereka bercengkerama dalam bahasa Jawa, saya menyarankan anda pulang dari Jakarta ke kampung halaman naik kereta ekonomi. Di sanalah kebersamaan muncul karena kesamaan nasib. Itulah alasan saya memilih transportasi ekonomis ini jika pulang kampung (selain karena harganya murah, hehe). Anda tidak akan merasa bosan di dalamnya jika anda mau bertutur sapa dengan orang di sekitar anda. Mungkin perasaan mereka ketika menuju kampung halaman penuh berbuncah kangen yang luar biasa, teringat anak dan keluarga mereka yang menjadi sumber motivasi utama mereka ada di sini.



Pengorbanan dan kerja keras itu akhirnya melahirkan keikhlasan dan kesederhanaan luar biasa. Pernahkah anda membayangkan anda sebagai supir atau kernet bis metromini yang melintasi jalanan protokol ibukota? Coba anda tanya apakah mereka pernah mengunjungi tempat-tempat mewah lambang hedonisme semacam mall, bioskop, plaza, taman mini, dll yang mereka lewati? Pasti sebagian besar jawabannya adalah tidak. Apakah mereka iri dengan para penumpang yang berpakaian casual keren untuk mejeng di sana? Kurasa tidak juga, pasti akan sangat makan hati jika mereka harus iri. Saya belajar banyak dari orang-orang semacam mereka.



Jakarta juga menawarkan tempat-tempat yang patut dikunjungi. TMII dengan ke-Indonesiaannya, Ragunan dengan hewan2nya, Senayan dengan Plaza Senayan dan SUGBKnya, Arena PRJ dengan diskon2nya dan lengkapnya barang yang dijual, Monas dengan pemandangan keren di bawahnya, Ancol dan Dufan dengan arena bermainnya, Pulau Seribu dengan kedamaian pantainya, dan masih banyak lagi. Bagi pencari ilmu, ada UI, UIN, Prasetia Mulya, BSM, dll yang menjanjikan gelar baik sarjana sampai doktoral yang pasti diminati banyak perusahaan (STAN di Tangerang Selatan juga menjanjikan lho..), dan bagi pencari pekerjaan berkerah putih dan biru, banyak sekali pabrik-pabrik dan kantor-kantor berjejal memenuhi Jakarta. 



Kelebihan lain dari kota ini bisa diilhat dari lengkapnya produk-produk impor dengan harga yang secara umum lebih murah dari daerah lain, hal ini terjadi karena kota ini masih menjadi pintu masuk pertama bagi para eksportir. Contoh sederhana adalah harga gadget (HP, laptop, kamera, dll). Anda bisa mendapat harga yang relatif lebih murah dari kota-kota lain di Indonesia (bisa jadi anda hanya perlu membayar 40-50%nya). Meskipun demikian jika anda membelinya bukan pada tempatnya, misalnya beli laptop, pakaian, jam tangan di plaza-plaza mewah tetap saja anda akan membeli dengan harga selangit, tapi entah kenapa ada juga orang yang melakukannya. Salah satu contoh murahnya barang di Jakarta, netbook yang saya gunakan untuk menulis artikel ini berlabel 5250K, ayah membelinya di Semarang. Dua minggu kemudian saya ke Mangga Dua, Jakarta Utara, ternyata dengan spesifikasi yang sama hanya berharga 4900K. Anda juga bisa menjumpai produk hape berbagai tipe di ITC Roxymas dari yang jadul-jadul sampai yang paling termutakhir sekalipun. Hal yang sama juga berlaku pada barang-barang yang lain, pokoknya lengkap dan murah. Pas sekali dengan slogan Jakarta yang berbunyi “Apa aja ada". Anda tak perlu khawatir ketinggalan trend, berita, atau info-info terupdate di Jakarta, jika anda mau dan mampu, semua bisa anda dapatkan.


Merasakan segala fenomena plus dan minus di Jakarta bagiku adalah suatu keharusan dan keniscayaan. Saat ini aku harus magang di Jakarta, sebagai lulusan STAN yang harus mengabdi di Kementerian Keuangan mau tidak mau aku harus menuruti organisasi kediamanku ini. Entah sampai kapan waktu magang, aku pun tak tahu. Setelah itu aku harus siap bertugas di manapun, bisa di dekat rumah, kota-kota ‘asing’ di luar Jawa, atau tetap di Jakarta. Meskipun demikian, jikalau aku harus di luar Jakarta, bagiku sebuah keniscayaan aku akan kembali ke sini. Dimanapun berada semua orang harus mengembangkan diri, jika memang aku berbuat lebih di posisiku ditempatkan nanti, niscaya aku akan dipanggil lagi ke Jakarta. Yang bisa kulakukan saat ini adalah terus mensyukuri keadaanku, apapun yang akan terjadi aku yakin bisa melewatinya dengan baik, dengan kegigihan dan semangat tempur tiada banding. Berpikir positif sedang kulatih hari demi hari, energi ini terlalu berharga untuk sekedar mengeluh dan mengumpat pada hal-hal yang tidak mungkin kita ubah. Jakarta memang layak dibenci, tapi aku memilih yang sebaliknya. Duhai Jakarta, bagaimana caranya agar aku bisa mencintaimu?

Komentar

  1. jakarta menampilkan banyak pilhan untuk kita..
    baik buruknya tinggal siapa subjek yang menjalani dan bagaimana cara pandangnya.
    yang asik-asik ajalah yang kita ambil..
    hehehee..
    yang banyak RUGInya, kita buang aja ke laut ancol!!
    ok?
    tetep ngeBLOG !!!

    BalasHapus
  2. jakarta dengan segala asik gak nya hanyalah sebuah tempat, yang membuatnya indah dan nyaman ditinggali adalah manusianya..
    So, hayuk, cintai Jakarta :DD

    BalasHapus
  3. berkunjung mbang.. rapel postingan iki yo hehe

    BalasHapus

Posting Komentar