I'm so guilty,,


Judul di atas adalah bunyi status facebookku pada suatu malam setelah Isya, tepatnya pada hari Minggu, 24 April 2011. Usut punya usut ternyata pada hari itu aku mengalami banyak hal, tentu saja komplit dengan hikmah yang bisa aku petik.

Berawal dari habisnya tiket bus malam jurusan Jakarta. Ini baru pengalaman pertamaku membeli tiket tetapi sudah habis. Memang liburan akhir pekan yang ditambah libur nasional (Meninggalnya Yesus Kristus) membuat banyak orang yang bekerja di Jakarta memiliih pulang ke kampung halaman. Waktu aku berangkat mudik pada hari Kamis malam, kereta pun penuh, hampir saja aku gakbisa pulang karena kehabisan tiket, dan lagi-lagi saat kembali saat aku ingin kembali ke Jakarta, aku kalah cepet dengan para perantau dalam membeli tiket. “Masih ada satu mas, jurusan Lebak Bulus, mau?”, seorang penjual tiket bis bilang padaku. Kuurungkan membelinya karena jurusanku Rawamangun, kalau harus ke Lebak Bulus, keyakinanku 90% bahwa aku akan terlambat ngantor besok. Tanpa pikir panjang, aku mencari di phonebook hapeku nama seorang kawan yang tinggal di Semarang, lalu kutekan keypad bergambar telepon hijau, di adalah kawan sekostku di STAN. Kumohon agar dia mau membelikanku tiket kereta api Tawang Jaya di Semarang pagi itu, saat itu masih pukul 10.00 WIB. Domisiliku yang jauh dari stasiun Poncol Semarang membuatku tidak bisa mengantri tiket pagi itu.

Sejam kemudian, kuhubungi dia lagi, katanya antrian sudah mengular. Hati kecilku jadi tidak enak karena ngerepotin seseorang, tapi mungkin inilah arti pertemanan, suatu saat aku harus bisa membalas budinya. Akhirnya dia sms kalau sudah dapat tiket ‘berdiri’. Kereta ekonomi memang menyediakan tiket berdiri bagi penumpang ketika tiket duduknya sudah habis. Tiket berdiri yang dijual 50% dari yang duduk. Namun, biasanya ada ‘tangan-tangan licik’ yang membuat kapasitas kereta jadi overload. Karena ini adalah pilihan satu-satunya akupun bersyukur pada Allah.

Setelah packing, tidur 2 jam siang itu, lalu makan siang dan sore, mandi dan sholat, akhirnya aku harus meninggalkan keluarga tercinta, waktu tiga hari memang sebentar, tetapi cukup mengikis kerinduanku pada mereka. Kucium tangan ibuku waktu itu. Ke Semarang aku diantar oleh tetangga yang masih satu buyut denganku via motor. Sore itu cuaca agak hujan, sehingga terpaksa memakai jas hujan. Perjalanan mulus hingga sampailah kami di stasiun tepat sebelum Maghrib.


“Aku dah nyampai stasiun, kutunggu di depan loket 2”, ku sms temanku saat itu juga. 20 menit ia belum juga datang, perasaanku kurang nyaman. Sekitar pukul 06.15 dia akhirnya nampak, dengan wajah yang kurang bersemangat dan langkah tergopoh-gopoh pria berjaket biru itu bilang “Mbang, dompetku jatuh!”. Glek..glek.. rupanya Allah menguji kami. Kubantu dia mencari dompet yang jatuh di sekitar lokasi parker yang kurang penerangan, berulang kali dia bergumam sendiri, “ada senter gak ya?”. Aku pun hanya bisa membisu meski kadang ikut menenangkannya mencari dompet itu. Dia menjelaskan bahwa di dalamnya ada tiketku, pun isi kartu-kartunya lengkap, ada SIM, ATM, STNK, KTP, uang, dll. Semakin aku merasa bersalah atas keputusanku meminta tolong padanya membelikan tiket tadi pagi. Perasaan cemas mulai menggelayut, apakah aku bisa pulang malam ini. Lima belas menit kami mencari bolak-balik tapi belum ada tanda-tanda. Bertanya pada petugas dan orang-orang di dekat parkiran, gak ada yang mengaku tahu atau melihatnya. Hingga ia putus asa dan mengikhlaskannya.

Aku memberanikan diri pamitan padanya dan pada tetanggaku dengan perasaan bersalah
luar biasa. Kuminta maaf padanya atas semua ini. Juga mendoakan agar dia bisa mendapat ganti yang lebih baik. Aku langsung menuju pintu masuk, dengan niat membeli peron agar bisa masuk kereta tanpa tiket, ternyata hal itu dilarang. Bagi sebagian orang (oknum), ketika tidak ada tiket maka masuk saja ke kereta, kemudian pas ada sidak tiket, kita bayar petugas di dalam kereta. Aku kali ini terpaksa jadi oknum, tetapi Allah ternyata tidak menghendaki. Astaghfirullah.

Saat itu, di stasiun sedang ramai, banyak orang mengantri tiket, yaitu untuk KA. Brantas dan KA. Kertajaya, dua-duanya kelas ekonomi. Setelah bertanya-tanya, kuputuskan untuk naik salah satu di antara kereta itu, mana yang paling cepet berangkatnya. Saat itu aku masih tidak bisa sholat maghrib, mushola stasiun ada di dalam, dan aku tidak bisa masuk, padahal Isya sudah dekat. Kondisi dan situasi saat itu benar-benar membuatku kurang nyaman. Aku berniat untuk menjamaknya nanti ketika sudah di dalam stasiun. 25 menit kemudian, tiket KA. Brantas jurusan Jakarta Tanah Abang sudah di tangan, dengan langkah pasti aku masuk ke dalam stasiun, dan menjamak sholat Isya dan Maghrib.

Pukul 20.30, Tak biasanya aku di Poncol sampai jam segini, kereta Tawang Jaya yang rencananya kunaiki sudah berangkat sejam yang lalu, aku duduk menunggu KA. Brantas yang seharusnya sudah muncul setengah jam yang lalu. Sejurus kemudian, kereta itu datang juga. Aku memilih gerbong pertama dengan pertimbangan ketika berdiri di dalam kereta tidak dilewati para pedagang yang biasa menjajakan dagangan selama perjalanan. Namun, aku harus membakar semangatku lagi ketika kulihat kereta itu sudah penuh dengan penumpang, bahkan untuk masuk ke gerbong membutuhkan keberanian untuk menerobos kumpulan manusia di dekat pintu.

Dalam beberapa menit, apa yang kupandang hanyalah wajah dan tubuh manusia-manusia yang duduk, berdiri, jongkok, dan berjalan di dalam kerata. Semua kursi pastinya telah diduduki, dan semua tempat kosong, baik yang di lorong antar kursi (dimana orang biasa jalan), di deket pintu, di bawah kursi, bahkan di toilet sudah diisi oleh penumpang. Pemandangan ini sebenarnya biasa kualami ketika naik kereta ekonomi, tetapi kali ini lebih padat dari biasanya. Alhamdulillah masih ada tempat untuk aku berdiri, pun meletakkan tasku. Ku sms temanku tadi “Iki wis ning nduwur Brantas. Matur Sorry banget bro (Ini aku dah di atas KA Brantas. Sorry banget bro). Nyesel aku wis nyusahke wong.. Semoga Allah membalas dengan lebih baik, mendapat ganti rizki yang lebih baik”. Dan dia membalas “Amin, gakpopo mbot, jenenge musibah kan gak ono sing ngerti. “Aku yo sori mbot, tiketmu ilang sisan. Malah mbok ganti juga. Ati2 yo mbot (Aku juga minta maaf mbang, tiketmu hilang. Malah tadi kau ganti juga. Hati-hati yam bang)”. Kujawab “Oke” dengan perasaan yang sedikit lebih tenang.


Perjalanan semakin lama semakin berat, pergelangan kaki dan lututku sudah hampir rubuh menahan berat tubuh. Aku sudah gak kuat lagi. Tiga jam sudah aku berdiri di kereta, sambil sesekali berusaha duduk ketika ada kesempatan, tetapi seringkali gagal. “Ya Allah beri hamba kekuatan”, doaku waktu itu. Dugaanku bahwa aku bisa duduk di lorong itu salah, orang-orang di dekatku lebih berani dan gak punya malu daripada aku. Kebanyakan pada berani menyerobot/minta tempat duduk pada orang-orang yang duduk –harusnya sebangku berdua jadi bertiga-. Sebagai orang yang sering dapat tiket duduk dan mengalami rasanya sesak ketika ada yang menyerobot, aku sangat segan bertindak demikian, karena perbuatan itu tentu saja merugikan orang yang duduk. Karena memang tak tahan lagi, akhirnya aku beranikan diri untuk duduk, dengan memasukkan kaki di bawah kursi ketika jam digital hapeku menunjukkan sekitar pukul 12 malam.

Sambil sesekali tertidur, dan lebih sering terjaga, akhirnya pukul 06.00 aku sampai di Stasiun Tanah Abang Jakarta. Stamina tubuh sepertinya tinggal 30%, mata pun sudah 2,5watt. Aku sadar belum sholat subuh, karena ku pikir masih ada waktu sholat di stasiun. Meski matahari tampak sudah memancarkan sinar emasnya, mau tak mau aku harus tetap sholat, aku tak mau berdosa besar, kata seorang ulama Ibnu Qayyim Al Jauziyah, tidak sholat dengan sengaja berarti berdosa seberat membunuh seseorang, berzina, dll. Namun, karena kebelet buang air, akhirnya aku ke toilet dulu. Banyak yang antri. Sesaat sebelum tiba giliran masuk di salah satu ruang toilet, aku letakkan mushaf di depan pintu, di tempat yang cukup aman dan bersih. Itu kulakukan sebagai adab memuliakan nama Allah. Ada orang tua yang bilang “Mas, itu ketinggalan ya?”, sambil menunjuk mushafku. “nggak pak, itu punya saya kok”, jawabku. Setelah kencing dan sholat (semoga Allah menerima sholatku), aku menuju kost di Cempaka Baru via Bajaj.

Singkat cerita, ketika sampai di kost aku baru ingat, kalau mushafku tertinggal. “Aduh, kata-kata bapak tua tadi menjadi kenyataan deh”, gumamku dalam hati. Meski aku berharap mushafku dibaca oleh orang lain alias aku ikhlaskan, tapi dalam hati rasanya enakan aku bisa memilikinya lagi, agak malas kalau harus beli lagi.

Sampai di kantor, aku bersyukur pada Allah, hari itu tidak terlambat, meski tadi berangkat harus tergesa-gesa. Banyaknya oleh-oleh yang dibawa teman magang sekantor hari itu, cukup membuatku ceria kembali. Ada bakpia, lanting, dan lapis legit. Hmm..
Keesokan harinya aku semakin bersyukur pada Allah ketika bertanya pada Ketua kelompok magang yang kemarin tidak masuk. Dia bilang kalau dia sampai kost pukul 12.00 WIB, bus yang ditumpanginya dan katanya juga sebagian besar bus malam yang lain terjebak macet di Subang selama 5 jam. Alhamdulillah.. ternyata Allah memberikan rahmatnya. Meski harus mengalami pengalaman yang serba force meijure, ternyata kehabisan tiket bus merupakan berkah bagiku.

Alhamdulillah juga, sore hari aku mencoba ke Stasiun Tanah Abang sepulang kantor bersama temanku. Oleh penjaga toilet mushafku telah diamankan di mushola. Ujung-ujungnya kembali ke tanganku. I love you full my God.. Hamba benar-benar tak tahu sesuatu adalah berkah atau musibah, karena engkau selalu memberi yang terbaik.

Komentar