Ekspedisi Habema 'Penuh Kejutan'


Mentari pagi menampakkan sinarnya pagi itu, Sabtu 11 Februari, setelah semalam diguyur hujan cukup deras. Aku dah menutup pintu rumah, bersiap menaiki Zatura sepeda kesayanganku menuju kantor tercinta. Berpakaian jins dan baju merah SPAN, lengkap dengan sepatu, jaket tebal, dan penutup kepala (kupluk). Tas kecil pun terselempang di baju terisi hape, dompet, kompas, dan buku saku ‘Google’. Pagi itu, aku bukan ke kantor untuk bekerja, tapi untuk mengadakan ekspedisi (baca: tamasya) ke Danau Habema, tempat wisata alam yang katanya cukup indah. Wow, aku sangat excited ketika ide jalan-jalan ke sana disampaikan oleh seorang pegawai, dan langsung kami setujui. Penasaran terbesit seketika mendengar ada danau indah di perbukitan.

Sesampainya di kantor, ternyata baru sedikit teman-teman pegawai yang sudah datang. Berkumpul jam 07.00 pagi di kantor sudah menjadi kesepakatan, tetapi ternyata tidak sesuai kenyataan. Sambil menunggu aku mengambil perkakas tanggunganku, yakni kamera, handycam, dan tripot. Menjadi fotografer memang pilihanku, memang sedikit orang yang suka karena tidak ada dalam gambar menjadi resikonya, tapi memotret menyiratkan kepuasan tertentu, ketika kita mampu merekam keindahan ciptaan-Nya dengan anggun, membawa penikmat gambar terbuai oleh pesonanya. Hmm..

Menunggu dan menunggu.. beberapa menit kemudian, datanglah rombongan dari kompleks rumah atas (Jl. Irian) membawa serta bekal perjalanan diantaranya makanan dan minuman dan camilan-camilan. Aku sudah tak sabar untuk segera sarapan agar perut tidak keroncongan. Sekali aku ambil makanan, ternyata teman-teman yang lain ikut-ikutan. Semua pegawai sudah datang, tinggal menunggu dua mobil 4WD dan teman-teman dari Balai Taman Nasional Lorentz, mereka yang juga merupakan Polisi Hutan bersedia menjadi pemandu kami selama perjalanan kali ini.

Mentari semakin meninggi. Sekitar pukul delapan, mobil yang kami tunggu sudah datang. Satu mobil bermerk Ford Ranger dan satunya lagi Toyota Hilux, siap membawa kami berpacu dengan jalanan pegunungan yang terjal dan berbatu. Aku, Imam, Ali, Dirman, dan seorang kawan Lorentz langsung naik di bak Ranger, di dalam mobil ada tiga teman Lorentz lainnya. Sedangkan Pak Poli, Pak Rahmat, Pak Toding dan anaknya ada di dalam mobil Hilux, dilengkapi dengan Ricko, Puji, Ronald, dan teman-teman Lorentz lainnya di bak belakang. Namun tak lupa, sebelum itu, aku sempat merekam beberapa gambar. Semua bekal sudah dimasukkan, dan perjalanan pagi itu pun dimulai. “Bismillah…”, aku ucapkan.

 
Mulai berangkat

Perjalanan menuju danau akan ditempuh selama 3-4 jam. Cukup jauh. Dengan jalan yang berbatu itu, tentu cukup menyakitkan duduk di bak belakang, maka dari itu, kami berlima di Ranger bergantian berdiri dan duduk. Bagi yang duduk sudah ada karpet yang digulung sekedar untuk mengurangi hentakan ketika ban belakang menghantam batu terjal. Udara dingin pun tak terhindarkan seiring laju Ranger yang kian melesat kencang. Perjalanan tetap lancer-lancar saja sesaat setelah kami melewati Pos Napua, sebuah pos militer di beberapa kilometer dari kota. Setiap orang yang menuju atas (bukit-red) harus melapor petugas di  pos tersebut.

Keindahan kota Wamena dengan lembah Baliemnya terhampar indah membentang. Persis seperti apa yang sering kulihat dari jendela pesawat. Namun pandangan dari ketinggian kali ini tentu memberikan kesan spesial. Teriakan-teriakan ala rombongan orang Papua pun kami lepaskan. Ritme dan gaya khas Papua yang sering diteriakkan mereka di kota yang dulu sempat memunculkan rasa takut dan penasaran. Teriakkan yang begitu sukar dituliskan dengan kata-kata. Sesekali camilan-camilan pun keluar dari bungkusnya dan menuju mulut terbuka, dan akhirnya masuk ke perut-perut agak buncit khas pegawai negeri. Haha
Langit sudah mulai berkabut
Keindahan kota dan alam dilihat dari atas
Ranger mulai rewel

 Rasa takjub pada keindahan bumi yang tersaji selama perjalanan panjang tiba-tiba diinterupsi oleh asap yang mengepul dari balik kap mobil. Kami yang ada di bak terkejut ketika teman-teman Lorentz keluar dari mobil untuk mengambil batu besar mengganjal mobil yang sedang menanjak agar bannya tak menggelinding liar ke belakang. Setelah kap mobil dibuka, ternyata diketahui radiatornya belum diisi air, suatu hal krusial yang mungkin terlupakan oleh tim Lorentz saat pengecekan pra perjalanan. Akhirnya botol demi botol air minum Aqua 300ml -yang seharga Rp 9000,- di sini dikerahkan untuk memenuhi radiator. Perjalanan pun dilanjutkan beberapa menit kemudian. Sementara itu teman-teman di Hilux yang tak menemui masalah berarti menunggu kami di sebuah honai.

Ranger rewel kedua, tim Hilux menjemput

 
Gambar-gambar medan yang harus ditempuh, terjal berbatu

Kejutan belum berhenti, kejutan berikutnya Hilux tak berhasil menanjak setelah satu jam perjalanan, meski akhirnya bisa melewati hadangan. Kemudian, Ranger sesekali berhenti untuk mendinginkan radiator yang bertemperatur di atas normal. Kejutan terbesar ketika Ranger berhenti ketiga kalinya dengan masalah sama, dan meskipun sudah diisi air lagi, ternyata ganti mesinnya yang tak mau jalan. Tim Hilux yang sudah ada di depan akhirnya menjemput kami yang terhenti di belakang. Di tengah hujan yang cukup rapat, kami bersama-sama mendorong mobil mundur, kemudian mendorong maju kembali, sambil mobil dinyalakan, tetapi tetap mesin urung menyala. Kami ulang-ulang sampai empat-lima kali ternyata percuma saja. Hingga kawan-kawan Lorentz memutuskan untuk mengakhiri perjalanan ini dan mengajak kami kembali ke kota. So Sad..

Makin banyak cerita setelah kejutan itu, ternyata para bapak-bapak di dalam kelaparan dan memutuskan untuk makan siang. Aku dan beberapa teman di Ranger berpindah ke Hilux –yang masih fit- untuk kembali ke kota. Mendengar kabar teman-teman di dalam makan, maka kami pun makan siang. Dingin dan hujan tak menghambat kami melahap nasi lalapan ayam di atas bak. Meski hujan menjadi kuahnya dan dinginnya suhu menampakkan kegarangannya, sementara baju dan celana kami pun sudah kotor dengan cipratan lumpur dimana-mana, tetapi tak menghalangi kami makan dengan lahap. Sungguh pengalaman tersendiri. Hmm.. Yummy…Sayang tidak sempat dipotret karena kamera tak tahan air.


Sebagian dari kami memang kecewa dengan kegagalan ekspedisi ini, apa boleh buat, HIlux harus segera kembali ke kota untuk memanggil mekanik dan kembali ke lokasi Ford mogok. Selama perjalanan pulang aku sempat kedinginan, karena jaket pun sudah basah, dan tiada jas hujan kubawa. Aku mampu menahannya dan sesekali menutupkan jaket di wajah yang kedinginan pula terhempas angin gunung. Namun, ternyata ada yang lebih membuatku khawatir. Ketika melewati jalan yang sempit, ada alat berat yang menghadang. Alat berat itu bahkan terangkat sisi kirinya karena hamper terguling ke jurang. Parahnya pula, tiada sopir di atasnya, sedangkan sisi jalan lain sudah penuh oleh tumpukan batu proyek.”Aduh, ada kejutan lagi!”, gumamku dalam hati.

Agar bisa kembali ke kota dengan selamat, kami pun harus menyingkirkan atau setidaknya meratakan tumpukan batu. Tak mungkin kami menyentuh alat berat yang hamper jatuh ke jurang. Hampir semua dari kami berkontribusi meratakan kerikil agar bisa dilewati dan ternyata tak mudah. Pertama semua memakai sepatu, kayu-kayu kecil, dan akhirnya papan yang agak panjang. Papan panjang memudahkan kami tapi tak maksimal. Hingga akhirnya Pak Poli mengintruksikan agar mobil melaju saja, agar kami lebih efektif meratakan batu yang menghadangnya. Perlahan demi perlahan, mobil pun mampu melewati beberapa gundukan, sambil sesekali kami meratakan batu-batu yang menghambat lajunya.  Tak percuma, ide brilian itu menemui hasil, hambatan batu sudah bisa ditaklukkan.

Sempat memotret Edelweis saat mobil didinginkan
Bahu membahu meratakan batu



Tenaga dalam pun dikerahkan^^

Ide brilian Pak Poli kami coba saat itu juga, dan akhirnya kami lolos dari lubang jarum
Alat berat itu hampir masuk jurang

Tubuh dan pakaian basah, sepatu yang penuh lumpur, dan hujan bercampur angin menambah nuansa perjuangan melelahkan ini. Namun, semangat kami belum kendur. Masih saja bergurau dan berteriak ala Papua. Ckckckck. Sampai akhirnya di kami melakukan foto bersama berlatar belakang kota Wamena yang eksotis, ketika waktu menunjukkan setengah tiga lebih. Semoga ini bisa menghibur hati dan fisik yang sudah kelelahan.

Menghibur diri dengan memotret lagi kota Wamena
Pose ala Mario Teguh
Para Pegawai dan keluarga KPPN Wamena
Perjalanan akhirnya berhenti ketika bemper Hilux telah sejajar dengan gerbang sebuah kantor yang telah kami kenal, KPPN Wamena

Komentar

  1. Pose ala Mario Teguh-nya gak nahan Bams....

    BalasHapus
  2. Hehehe..
    Lagi keinget pose begitu boy..
    keren ye.. :)

    BalasHapus
  3. keren mbang.. iku ceweke sopo mbang?? (wahyu - kppn ngoles)

    BalasHapus
  4. Putrinya KK mas.. SMA kelas 2, ikut beliau, pindah sekolah di sini..

    BalasHapus

Posting Komentar