Kami emban amanat rakyat, mengawal APBN sampai tamat

Direktorat Jenderal Perbendaharaan, saya tidak yakin semua pembaca mengenalnya. Instansi eselon satu dari Kementerian Keuangan ini memang kurang populer, masih kalah tenar dari Ditjen Pajak (DJP) maupun Bea dan Cukai (DJBC). Namun, bagi anda yang paham Keuangan Negara, pasti takkan meragukan, betapa besar dan pentingnya instansi ini bagi republik. Besar dari segi amanahnya yakni mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang sudah mencapai lebih dari 1100 Trilyun rupiah, dan juga penting karena menentukan jalannya roda perekonomian bangsa dari Sabang sampai Merauke setiap hari.

Peran Ditjen Perbendaharaan yang besar dan penting tersebut diwujudkan dalam beberapa unit eselon II di kantor pusatnya, yaitu: 1) Direktorat Pelaksanaan Anggaran, 2) Direktorat Sistem Manajemen Investasi, 3) Direktorat SIstem Perbendaharaan, 4) Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, 5) Direktorat Transformasi Perbendaharaan, 6) Direktorat Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, 7) Direktorat Pengelolaan Kas Negara, dan 8) Sekretaris Ditjen Perbendaharaan. Tidak hanya di kantor pusat saja, Ditjen Perbendaharaan juga dapat ditemui dalam wujud Kantor Wilayah (Kanwil) yang saat ini telah berjumlah 30 unit dan tersebar di 30 Provinsi di Indonesia. Tidak hanya sampai disitu, dalam menjalankan perannya menyentuh para stakeholder di tiap kota, Ditjen Perbendaharaan juga mempunyai unit-unit vertikal eselon III, yakni Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN), sebuah kantor yang menjadi palang pintu APBN RI dan telah tersebar di 177 kabupaten/kotamadya di Indonesia.

13296388551142290797

suasana salah satu KPPN ketika menerima satker
KPPN bisa dikatakan sebagai kipernya APBN, karena melalui kantor inilah, tagihan-tagihan terhadap negara disahkan. Selanjutnya setelah disahkan, KPPN akan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang akan disampaikan ke bank operasional (baik negeri atau swasta) sebagai perintah agar bank memindahkan/mentransfer sejumlah uang dari kas negara kepada rekening bendahara instansi pemerintah (misalnya berupa gaji) atau rekening pihak ketiga (misalnya pembayaran kontrak pembangunan). Stakeholder dari KPPN adalah unit-unit instansi pemerintah dan beberapa unit instansi daerah yang lebih sering disebut dengan satuan kerja (satker). Di tahun 2012 ini jumlah satker di Indonesia telah mencapai lebih dari 22.000 unit. Meski jumlah satker yang dilayani tiap KPPN berbeda, tetapi bisa dipastikan kecermatan tiap pegawai KPPN haruslah sama besarnya. Bayangkan saja setiap hari, mata dan fikiran para pegawai KPPN, khususnya yang duduk di balik meja pelayanan (Front Office) harus fokus untuk memeriksa dokumen-dokumen tagihan pada negara, agar benar-benar dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara administratif. Pemeriksaan itu terdiri dari aspek formal dan aspek substansial. Aspek-aspek formalnya adalah:
1. 1. mencocokkan tanda tangan pejabat penandatangan SPM dengan spesimen tandatangan; 
2.  memeriksa cara penulisan/pengisian jumlah uang dalam angka dan huruf;
3.  memeriksa kebenaran dalam penulisan, termasuk tidak boleh terdapat cacat dalam penulisan.

Sedangkan pengujian dari aspek substansialnya meliputi:
1. menguji kebenaran perhitungan tagihan yang tercantum dalam SPM;
2. menguji ketersediaan dana pada kegiatan/sub kegiatan/MAK dalam DIPA yang ditunjuk dalam SPM tersebut;
3. menguji dokumen sebagai dasar penagihan (Ringkasan Kontrak/SPK, Surat Keputusan, Daftar Nominatif Perjalanan Dinas);
4. menguji surat pernyataan tanggung jawab (SPTB) dari kepala kantor/satker atau pejabat lain yang ditunjuk mengenai tanggungjawab terhadap kebenaran pelaksanaan pembayaran;
5. menguji faktur pajak beserta SSP-nya;

Pembatasan wewenang pemeriksaan yang hanya meliputi dua aspek tersebut barulah ada sejak 2005, setahun setelah UU Perbendaharaan dirilis. Sebelum itu, selain memeriksa kebenaran secara administratif (dokumen-dokumen), KPPN juga berkewajiban memeriksa benar atau tidaknya proyek pembangunan tersebut secara fisik, sungguh suatu pekerjaan yang berat mengingat banyaknya satuan kerja yang harus dilayani. Saat ini, kewajiban memastikan bahwa proyek pembangunan dapat dibuktikan secara fisik dilimpahkan pada satker masing-masing, dalam hal ini adalah Kepala Kantor masing-masing, sedangkan KPPN kini hanya bertindak sebagai ATM-nya. Jika semua dokumen telah benar dan lengkap dilihat dari dua aspek di atas, maka KPPN berkewajiban mengesahkan tagihan tersebut dan langsung menerbitkan SP2D sebagai tagihan pada negara.

Namun tidak semudah itu, nafas reformasi birokrasi di Kementerian Keuangan khususnya DJPB ini ternyata tidak diikuti dengan pola pikir para satuan kerja. Proyek fiktif dan tagihan-tagihan lain yang tidak ada wujudnya disinyalir masih tetap ada. Buktinya, APBN yang sebesar itu sampai sekarang belum dirasakan manfaatnya oleh beberapa lapisan masyarakat. Akan tetapi, pegawai KPPN tidak dapat berbuat banyak, jika berkas administratif telah benar dan lengkap maka kami wajib membayarnya. Sungguh pekerjaan yang strategis tetapi juga dilematis. Beberapa tahun yang lalu, kestrategisan ini sering dimanfaatkan beberapa oknum bendahara satker untuk menyuap kami dengan amplop-amplop tebal, hadiah-hadiah gratifikasi, dan bentuk-bentuk suap yang lain. Tentu saja dengan harapan, agar kami memudahkan pengesahan dokumen-dokumen tagihan mereka. Alhamduillah, semua itu sudah secara formal diberangus sejak diluncurkannya format Layanan Percontohan tahun 2007. Mulai saat itu para pegawai KPPN sudah dengan tegas dilarang menerima apapun dari para satker. Pola pikir para pegawainya dalam melayani pun telah diubah 180 derajat, yang asalnya merasa bahwa satker yang membutuhkan, menjadi KPPN yang membutuhkan para satker, semata agar pelaksanaan APBN dapat berjalan dengan lancar, dan anggaran yang fantastis itu dapat dicairkan sebesar-besar untuk kesejahteraan rakyat. Layout kantor pun dirombak menjadi tiga ruangan layanan, Front Office, Middle Office, dan Back Office

Meski peraturan telah diperketat dan spanduk-spanduk yang intinya berbunyi “Layanan kami bebas biaya” atau “Tidak menerima uang atau gratifikasi dalam bentuk apapun” juga telah dipasang, tetap saja ada beberapa oknum satker yang nekat memberikan sesuatu pada petugas. Di situlah integritas kami diuji. Jika memang terbukti menerimanya, baik dilaporkan oleh saksi ataupun terdeteksi dari kamera CCTV, maka hukuman berat dan penjara bisa menanti kami. Bahkan, lebih ironis lagi, meski integritas sudah teruji dengan diberikannya sebuah penghargaan Penilaian Inisiatif Anti Korupsi (PIAK) dari KPK pada DJPB tahun 2010, ternyata masih saja ada pihak yang meragukannya. Bulan Januari lalu, sebuah noda bagi reformasi birokrasi telah ditorehkan oleh tuduhan fitnah dari para penyidik penegak hukum yang beranggapan bahwa dua pegawai KPPN telah bekerjasama untuk meluluskan proyek fiktif dari satker unit vertikal sebuah kementerian di Jakarta, padahal semua prosedur pencairan sudah dilaksanakan dengan benar dan tiada sepeserpun uang yang diterima. Namun, hakim tetap dengan zalim menjatuhi hukuman penjara bagi mereka, meski saksi ahli si pencetus undang-undang reformasi keuangan sudah didatangkan. Informasi selengkapnya bisa dibaca di artikel ini.

Reformasi Keuangan yang sudah dijalani dengan peluh keringat ini tak akan kami biarkan terhenti begitu saja. Bisa saja kami mundur dari tanggungjawab ini karena toh ternyata sebaik apapun kami melaksanakan prosedur, ternyata paradigma lama bahwa KPPN juga harus mengamati wujud dari setiap proyek dan bahwa KPPN bisa saja bermain mata dengan satker, tetap saja masih tersimpan di kepala-kepala penegak hukum. Sungguh terlalu besar resiko yang kami tanggung. Namun, dengan persatuan lebih dari 9000 pegawai di seluruh Indonesia, sepertinya DJPB akan terus melangkah tegak mengawal keuangan negara. Sistem-sistem yang tadinya masih berlubang telah ditutup sedemikian rupa, misalnya melalui pencocokan spesimen tandatangan, identitas pengantar tagihan, sampai dengan sidik jari petugas pengantar tersebut. Surat-surat tagihan itupun kini sudah dilengkapi barcode yang otomatis tercetak ketika surat tagihan -disebut Surat Perintah Membayar (SPM)- dicetak dari aplikasi produk kami (Direktorat Sistem Perbendaharaan). Untuk SPM Gaji pun sama, kami telah melengkapi proteksi dengan sistem dalam aplikasi yang membuat Gaji Induk Pegawai takbisa dicairkan dua kali.

Perubahan menuju ke arah lebih baik begitu penting bagi kami. Sistem-sistem yang semakin memudahkan pencairan tetapi tetap dengan proteksi dari penyimpangan satu demi satu disusun oleh para perumus kebijakan, terutama oleh Direktorat SIstem Perbendaharaan (DSP) dan Transformasi Perbendaharaan (DTP). Kabarnya, sebentar lagi akan di-launching Pin Pejabat Penandatangan SPM (PPSPM). layaknya Pin ATM di bank, Pin PPSM tersebut membuat SPM sebagai surat tagihan APBN, tidak lagi bisa dipalsukan. Kalaupun di belakang hari ada masalah, maka sekali lagi kami tak bertanggungjawab karena sudah menjadi tanggungjawab kantor satker masing-masing. Di tahun 2012 ini juga sudah mulai diuji coba sistem yang terintegrasi bernama Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN). SPAN yang dalam perumusannya juga melibatkan pihak swasta seperti LG ini nantinya akan mengintegrasikan database semua hal terkait keuangan negara, mulai dari perencanaan anggaran, pelaksanaan anggaran, sampai dengan pelaporannya, yang tentunya meminimalisasi kesalahan dan penyimpangan. Saya mewakili instansi memohon dukungan dan doa dari segenap bangsa agar sistem yang powerfull ini dapat berjalan dengan baik di tahun depan. Dan marilah kita berdoa pula agar APBN yang semakin gemuk tiap tahun itu, benar-benar digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang bejat. Amin..

situs terkait:

Komentar