Resensi: Living Islam

Bersampulkan warna hijau tua dengan pattern heksagonal-heksagonal kecil layaknya sarang lebah dipercantik dengan bidang lingkaran emas yang berukiran di tepinya, di dalam bidang terpahat dua kata penting berwarna putih cerah, satu kata di atas satu kata yang lain, merupakan kosakata bahasa Inggris “LIVING”. Sedangkan satu kata lain dengan ukuran font yang sama besar merupakan kosakata bahasa Indonesia, sebuah istilah untuk menyebut keyakinan atau agama yang diyakini oleh mayoritas penduduk negeri, “ISLAM”. Sebuah buku karya Ustad Herry Nurdi, jurnalis dan penulis yang getol memperjuangkan agama yang diyakininya paling benar sejagad raya ini. Ustad berjenggot lebat ini dikenal publik sebagai sosok penting dibalik terbitnya majalah Islam yang cukup digandrungi muslim Indonesia, Sabili. Ya, sosok sederhana yang lahir di Surabaya, 26 Februari 1977 ini saat ini masih menjabat sebagai Pemred (Pemimpin Redaksi) Majalah Sabili, setelah sebelumnya malang melintang di media dakwah lain, diantaranya Majalah Suara Hidayatullah, Tabloid Sakinah, Situs Eramuslim.com, Majalah Az-Zikra, dan radio Smart FM.

Meski sudah malang melintang di jagad media dakwah, saya baru mengenal beliau ketika menjadi salah satu pembicara di sebuah acara pelatihan kepenulisan Islami di sebuah masjid dekat STAN. Sayangnya juga, saat itu yang lebih saya kenal adalah pembicara lain, yakni Ustad Habiburrahman El Shirazy alias Kang Abik. Maklum, sebelum kuliah di STAN, saya tidak pernah membaca majalah Islam apalagi mengenal dakwah lewat tulisan. Novel pertama yang saya selesaikan membaca adalah Ayat-Ayat Cinta, yakni ketika masih awal-awal kuliah, sungguh jauh ketinggalan dengan teman-teman saya yang sudah pernah saya pergoki membaca novel itu saat kami masih SMA. By the way, ternyata Ustad Herry Nurdi tidak bisa dianggap sebelah mata, saya menyadarinya ketika saya menemukan Page Facebook-nya. Tulisan-tulisan Ustad yang gemar bersarung tiap hari itu begitu inspiratif dan mengena. Hampir mirip dengan Ustad Salim A. Fillah. Namun, kedua penulis itu mempunyai keistimewaan masing-masing. Bagi saya Ustad Salim merupakan penulis Islam yang paling halus dan puitis bahasanya, sedangkan Ustad Herry lebih tegas dan mudah dipahami. Meski demikian, karya-karya mereka sama-sama cerdas dan penuh nafas. Maka, ketika saya pertama kali melihat dan membaca sedikit isi buku ini di Gramedia Jayapura, saya niatkan untuk membelinya, dan baru ketika dinas luar ke Jakarta, saya langsung mencarinya.

Living Islam yang berarti Hidup Islam menurut saya adalah sebuah karya emas. Buku ini berisi kumpulan tulisan tentang relasi antara manusia dan Tuhan juga manusia dengan sesamanya yang akan meluruskan persepsi pembaca tentang Islam hingga akhirnya bersemangat dalam memajukan peradaban Islam. Kumpulan-kumpulan tulisan dengan judul yang cukup singkat, seperti Waktu, Syarat, Cerdas, Dewasa, Penjara,  Jangan Risau Ada Allah, dikelompokkan ke dalam tujuh tema besar yaitu Manusia dan Kesadarannya, Manusia dan Sesamanya, Manusia dan Teladannya, Manusia dan Perjuangannya, Manusia dan Kekuasaan, Manusia dan Penciptanya, dan Manusia Pada Akhirnya. Dikemas ciamik dalam buku setebal 300 halaman.

Setiap tulisan dimulai dengan kutipan-kutipan singkat, tetapi efektif mengajak pembaca masuk lebih dalam dan segera melanjutkan membaca. “Orang-orang cerdas selalu mengajukan gagasan, Orang yang berpura-pura cerdas selalu mengulang-ulang gagasan”. Ada lagi yang cukup menghujam kedalam hati terdalam, “Meski waktu adalah pedang, tak pernah kita punya perasaan bahwa sewaktu-waktu kita bisa terpenggal”. Ada juga yang sungguh membuat diri malu, ”Seharusnya, jiwa-jiwa Islamlah yang membuktikan dengan kepala dan mata sendiri betapa firman-firman Allah agung tak terkira”. Sungguh kutipan-kutipan high level yang menyentuh hati-hati orang beriman. Saya memang belum membaca keseluruhan, karena sudah tersentuh menikmati kata demi kata yang arif dan inspiratif, mengalir dari mata hati yang penuh semangat dan harapan. Salah satu tulisan yang simpel tetapi paling saya sukai adalah tulisan berjudul Fitnah, sepertinya saya tidak keberatan untuk menuliskannya di resensi ini. Mari..

***

Fitnah

“Fitnah dan cobaan adalah pintu-pintu menuju kedewasaan”

Ada banyak cara menjadi dewasa. Kadang begitu mudah, semudah membaca buku dan menemukan kearifan di tiap lembar halaman. Bahkan ada yang lebih mudah, seperti bercermin pada setiap kejadian yang terjadi pada orang lain.

Namun, tak jarang, kita harus menempuh jalan yang begitu berat untuk menjadi dewasa dan sadar. Kita harus melewati sungai fitnah yang berarus jeram. Membelah rimba cobaan dengan kerja dan sabar. Bahkan kita harus penuh luka sebelum akhirnya memetik hikmah dan menjadi dewasa.

Ada yang berhasil, tapi banyak pula yang gugur di tengah jalan. Orang-orang yang berhasil menjadi lebih arif sikapnya. Lebih dalam kemampuannya. Lebih luas pemahamannya. Dan lebih terbuka menerima segala. Sedangkan mereka yang gagal, telah menjadi gusar, bahkan gusar mereka melebihi sebelum fitnah datang. Sumbu emosi mereka lebih pendek dan mudah terbakar. Mereka telah gagal melanjutkan perjalanan menuju kedewasaan.

Sesungguhnya, perjalanan masih sangatlah panjang. Tapi mana mungkin ditempuh dalam keadaan papah. Tak mungkin perjalanan diselesaikan tanpa kemampuan menangkap hikmah, menyerap ilmu, apalagi berjalan tanpa ma’rifat kepada-Nya. Hati yang gentar pada fitnah, benak yang gusar pada fitnah, akal yang buntu karena fitnah, akan membuat kaku kita terantuk-antuk batu dalams setiap langkah. Lalu kita akan menyerah sebelum perjalanan usai dan purna.

Fitnah selalu ada. Semakin tinggi tingkat kearifan, maka semakin besar pula fitnah menghantam. Selayaknya, fitnah harus kita jadikan ukuran. Jika waktu lalu, cobaan yang datang untuk kita selesaikan sama dengan cobaan yang kita hadapi sekarang, sungguh tak ada peningkatan apapun yang kita dapatkan.
Ketakutan memang sering menggalikan liang kubur untuk akal sehat yang kita perlukan. Rasa gentar pun sering mengabarkan jalan semu yang menyesatkan. Jangan lari ketika fitnah datang. Jangan pula berpaling ketika cobaan menghadang. Lewati saja. Tembus saja. Sejatinya, fitnah dan cobaan adalah pintu-pintu menuju kedewasaan.

Selama kita berpegang teguh pada tali Allah, sungguh tak ada yang perlu ditakutkan. Sepanjang kita tak bermaksiat kepada pencipta alam, tidak perlu pula gentar.

Tapi sebaliknya, jika kita bermaksiat kepada Allah, maka semua yang kita alami adalah awal dari kehancuran. Satu-satunya penyebab paling absolut sebuah kebinasaan adalah, karena kita bermaksiat kepada Allah. Jika sudah demikian, ketakutan akan mengepungmu. Kegalauan akan menelikung setiap langkahmu. Dan perjalanan begitu berat. Tak ada jalan lain jika sudah begitu; cepat bertaubat atau tenggelam dalam sesat, []

***

Jadi, tak ada jalan lain jika sudah membaca tulisan ini, cepat beli bukunya atau kamu akan kehabisan!!
Hehe^^

Wamena, 09022012, 23:16

Komentar