Traktiran Tiga Sekawan


Kenyang  dan senang!!

Begitulah perasaan kita setelah ditraktir oleh seorang sahabat. Kenyang karena perut telah diisi dengan makanan halal tanpa sepeserpun uang kabur dari kantong pakaian, senang karena bisa makin akrab dengan teman. Demikianlah yang kurasakan saat menulis coretan ini. Seorang sahabat habis mentraktir dua orang sahabatnya, aku dan seorang lagi. Ini kali ketiga kami makan bersama dengan traktiran, tapi kali kesekian –tidak terhitung- kami makan bersama, pasalnya dulu di awal-awal bertugas di Wamena, kami sering makan bersama, bahkan memasak bersama. Aku boleh dibilang menjadi inisiator traktiran ini, kemudian diikuti oleh sahabat, sebut saja namanya Mam, dan akhirnya di kali ketiga, sebut saja namanya Al, yang paling soleh diantara kami yang menjadi bosnya. Traktiran tidak harus saat merayakan hari kelahiran, bagusnya ketika momennya memang telah tepat dan punya rejeki lebih di tangan, seperti pada malam ini.

Selain tentunya untuk memenuhi permintaan perut yang kelaparan, kami juga berbincang tentang segala hal, dari serba-serbi kerja di kantor sampai Opera Van Java. Dari kisah-kisah unik dan lucu pada masa lalu, sampai mimpi-mimpi besar di masa depan, bahkan hingga angan-angan indah tentang Surga. Jika ada seorang yang pembicaraanya sudah menuju pembicaraan tentang orang lain atau hal-hal yang tak pantas, salah satu dari kami akan langsung mengingatkan. Tawa ringan bisa saja muncul saat jari-jari tangan kanan menggumpalkan nasi untuk diumpan ke dalam mulut, terkadang juga keseriusan menghampiri sehabis air dituang dalam kerongkongan. Aku tahu ngomong sambil makan tidaklah baik, tapi memang hanya di kesempatan-kesempatan seperti ini kami bisa berbincang lepas tanpa beban. 

Kami bertiga seangkatan lulus dari STAN, satu instansi di Perbendaharaan, mempunyai pola pikir yang hampir sama tentang nilai-nilai kehidupan, dan yang paling penting sama-sama dianugerahi penempatan di tempat yang tak pernah dibayangkan (hehe...). Ya Allah, ikatkanlah hati-hati kami dalam sebuah ikatan ukhuwah yang menguatkan keimanan hingga kelak kami berpisah alam. Juga pertemukanlah kami kelak di Surga-Mu yang penuh kenikmatan hingga kami bisa kembali berkawan. Amin.

Traktiran di kota terpencil ini tidaklah semewah yang dibayangkan. Di sini tidak ada Hok-ben, Hanamasa, KFC, Dunkin Donuts, McD, De Cost, PH, atau restoran Franchise lainnya. Barangkali baru ada ketika Mall –yang hampir delapan tahun belum selesai dibangun- sudah jadi. Kami hanya makan di warung-warung biasa. Kali ini menu yang kami pesan adalah Lalapan Ayam Goreng plus Tempe dan Tahu untuk tiga orang, Nasi satu bakul kecil yang memang pas untuk tiga porsi, dan tiga gelas kopi susu hangat. Ayam goreng adalah menu favorit kami, sebagai makanan yang cukup bergizi tapi paling murah di sini (Rp 25.000,-). Nasi masih dan sudah menjadi makanan pokok di Wamena, setelah sebelum ada pendatang dulu makanan pokoknya adalah ketela (singkong). Kopi susu hangat dipilih untuk menghangatkan badan yang kedinginan setiap malam.
Sederhana juga dari segi tempatnya juga, lokasi warung lesehan dan bersekat bertema Jawa ini beralaskan karpet yang melekat di atas panggung kecil. Para pengunjung dipersilakan menikmati hidangan dengan duduk bersila menghadap meja sederhana yang ditempatkan di tengah-tengah bilik tersekat, sehingga cukup nyaman dan private. Lokasinya juga strategis bagi kami, yakni di depan masjid Nurul Hidayah, masjid termegah di Wamena. Kami memang sudah merancang strategi, berangkat dari kantor via mobil sesaat sebelum waktu Isya datang, sehingga sampai di masjid ketika Azan berkumandang, dan selesai sholat langsung menuju warung klasik yang berlampu remang-remang dan terpajang beberapa gambar wayang itu. Alhamdulillah, rencana berjalan lancar.

Sehabis makan dan sudah terpuaskan, kami panggil sang pelayan. “Berapa mas?”
“Jadi.. semuanya seratus tiga puluh ribu”, kata masnya.
Tanpa ragu dan heran –karena udah terbiasa dengan harga Wamena- si bos Al mengeluarkan uang dari dompet untuk membayar dan selesailah kisah traktiran tiga sekawan malam ini. 

Wamena, 09022012

Komentar