Mencari kembali hakikat Kesuksesan


Kelak setelah proses kiamat tuntas, Allah memanggil orang-orang yang telah dianugerahi ilmu-Nya. Kepada mereka Allah mengajukan pertanyaan, “Apa yang sudah engkau perbuat dengan ilmu itu?”
“Saya  bangun di tengah malam untuk qiyam dan kami berjaga di waktu siang menyebarkan ilmu kepada orang-orang,” jawab golongan berilmu.

Tapi Allah berkata, “Kamu dusta!”

Kemudian para malaikat mengiyakan, “Kamu memang dusta. Kamu melakukannya hanya karena ingin disebut sebagai orang alim. Ya Allah, memang begitulah manusia menyebutnya.”

Kemudian Allah memanggil golongan yang kedua, orang-orang kaya yang menyedahkan hartanya. “Kamu telah aku beri nikmat. Apa yan telah engkau perbuat dengan segala nikmat-Ku?”
“Harta benda itu telah kami sedekahkan siang dan malam, wahai Tuhan seru sekalian alam,” jawab orang-orang kaya.

Tapi Allah berkata, “Kamu dusta!”

Kemudian para malaikat mengiyakan, “Kamu memang dusta. Kmau melakukannya hanya karena ingin pujian manusia dan dianggap dermawan oleh mereka. Ya Allah, memang begitulah manusia menyebutnya.”

Kemduian Allah memanggil manusia-manusia yang konon terbunuh saat membela dan mempertahankan agama-Nya. “Apa yang telah kamu kerjakan semasa di dunia?” tanya Allah kepada mereka.
“Hamba berjihad di jalan-Mu. Hamba pergi ke medan perang dan mati terbunuh,”kata orang-orang dari golongan ini.

Tapi Allah berkata, “Kamu dusta!”

Kemudian para malaikat mengiyakan. “Kamu memang dusta. Kamu melakukannya hanya karena ingin dipuji berani dan dianggap gagah oleh manusia. Ya Allah, memang begitulah manusia menyebutnya.”
“Wahai Abu Hurairah, mereka itulah yang mula-mula merasakan api neraka Jahanam di hari pembalasan.” tutur Rasulullah SAW.

*****

Baik-buruk, benar-salah, pantas-tidak pantas, yang menjadi ukuran perilaku manusia adalah relatif, tergantung dari standar tertentu, tapi tidak di’mata’ Allah. Dalam menjalani kehidupan singkat di dunia, manusia telah disediakan oleh-Nya aturan-aturan sekaligus pedoman untuk melangkah, untuk menentukan ukuran-ukuran perilakunya. Tak tanggung-tanggung, aturan itu disediakan Allah lengkap dengan konsekuensinya, yang sampai sekarang masih diinginkan dan ditakuti oleh manusia beriman, Surga dan Neraka.

Sama halnya dengan ukuran tersebut, sukses juga relatif bagi kita. Sebagian besar orang menganggap materi-lah yang menentukan predikat sukses disandangkan pada seseorang.  Mereka berkata bahwa sukses itu adalah ketika rumah mewah, mobil banyak, istri cantik, kerjaan oke, dandanan trendi, dan sebagainya dapat dimiliki. Sementara itu, ada juga yang beranggapan sukses itu ketika keberadaan kita di dunia diabadikan dalam layar kaca, liputan media, ataupun radio swasta. Popularitas menjadi impian mereka. Sementara itu ada yang berargumen lagi, bahwa sukses adalah proses, bukan suatu titik tertentu. Karena kualitas seseorang (humanity) dilihat dari proses ia berbuat, bukan pada ujung perbuatan itu sendiri. Maka, ketika manusia itu telah berusaha mewujudkan impiannya, sesungguhnya ia telah sukses.

Ayat-ayat dalam Al Qur’an maupun Sunnah Rasulullah mengajarkan lain. Kesuksesan manusia seharusnya dihubungkan dengan tujuan manusia diciptakan. Hanya dua tujuan dan saling berkaitan, yaitu beribadah dan menjadi khalifah, sesuai Firman-Nya “Tidaklah Aku ciptakan Jin dan Manusia, kecuali untuk beribadah kepada-Ku” dan “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Sebagai khalifah (baca: wakil Allah), manusia ditugaskan untuk mengelola bumi sebaik-baiknya tentu sesuai dengan peran yang mampu ia jalani. Jika ia dikaruniai kecerdasan dalam berpikir matematis, mungkin ia dapat menjalani perannya sebagai khalifah dalam profesi ilmuwan, dosen ilmu eksak, perumus teknologi, dsb. Jika ia lebih dikaruniai kecerdasan hafalan, menjadi ustad, guru, hakim, menjadi pilihan yang logis. Jika ia dilahirkan dengan bakat seni yang tinggi, ia bisa menyalurkan bakatnya sebagai seorang penulis, musisi, aktor, desainer, dsb. Semua itu jika dilakukan dengan niat karena-Nya dan sesuai dengan aturan-Nya adalah sekaligus merupakan bentuk ibadah dia kepada-Nya selain ibadah-ibadah ritual setiap harinya. Maka, suatu hal yang wajar apabila segala karunia yang didapat oleh khalifah dan juga hasil yang telah diperoleh dari kesungguhan dalam menjalani perannya diakui sebagai titipan Dzat yang ia wakili, yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hari pertemuan dengan-Nya. Maka, bukanlah materi ataupun popularitas yang menjadi ukuran kesuksesan, melainkan keberhasilan manusia dalam menjalankan tugas Tuhan. Dengan kata lain, keberhasilan itu baru bisa diketahui di alam akhirat, yang artinya kesuksesan hanya bisa diraih di sana, bukan di dunia.

Cita-cita “masuk surga” menjadi pilihan para remaja labil yang belum memiliki gambaran masa depan. Tidak salah memang, karena memang itulah kesuksesan sebenarnya. Bahagia bisa di dunia dan akhirat, tetapi sukses menurut saya hanya di akhirat. Hadits yang saya sampaikan di atas telah menjadi penerang bagi saya secara pribadi, bahwa keberhasilannya dalam menjalankan peran di dunia bisa jadi meledak, hilang tak berbekas, ketika yang diharapkan bukan ridha-Nya. Betapa kekayaan yang halal dan disampaikan kepada yang berhak, ilmu yang bermanfaat, maupu jiwa yang syahid belum cukup untuk meraih kesuksesan. Apalagi jika semua itu hanya untuk memuaskan syahwat? Naudzubillah. Satu hal yang ditegaskan oleh-Nya, yaitu “niat”. Maka tak ayal jika hadits “Sesungguhnya diterimanya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya, .....” menjadi hadits pertama yang disusun oleh Imam Nawawi dalam kumpulan hadits Arba’in-nya. Maka tak bisa dihindari bahwa hadits inilah yang menjadi salah satu dari tiga poros Islam, mendampingi “Siapa melakukan amalan yang tak diperintahkan maka tertolak” dan “Yang halal itu jelas, dan yang haram itu pun jelas”. Subhanallah..

Maka pertanyaannya, sudah siapkah kita untuk sukses? sudahkah kita berniat tulus dalam menjalankan peran? dan yang tak kalah penting, sudahkah kita mengaplikasikan aturan-aturannya di dalamnya juga menggunakan karunia dan hasilnya agar bermanfaat bagi sesama?

Wallahualam bishshowab.

Komentar