Ide Kartini disalah artikan?


Lukisan Kartini (http://en.wikipedia.org/wiki/Kartini)
“Dan saya menjawab, tidak ada Tuhan kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan bukan Allah.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902)

Setiap tanggal 21 April, masyarakat Indonesia, khususnya kaum ibu dan remaja puteri, memperingari Hari Kartini. R.A. Kartini yang dikenal sebagai perintis pergerakan wanita Indonesia lahir 21 April 1879 bertepatan tanggal 28 Rabiul Akhir tahun Jawa 1808 di Mayong Jepara. Ayahnya, Raden Sosroningrat, Bupati Jepara. Sedang ibunya, M.A. Ngasirah, puteri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara. Ada banyak hal yang bisa diteladani dari Hari Kartini. Salah satunya adalah pentingnya kaum wanita dan anak-anak gadis masa kini teguh menjaga prinsip kemuslimahan diri.

Di samping ayu dan keturunan mulia (ningrat), R.A. Kartini merupakan anak gadis yang cerdas dan berpikiran jauh ke depan. Atas dasar ini, penjajah Belanda berkepentingan mendekatinya. Orang-orang Belanda yang berteman dengan Kartini, pada umumnya mereka adalah “musuh dalam selimut” atau setidak-tidaknya ingin memperalat Kartini, seperti Abendanon (utusan pemerintah tinggi Belanda dan teman politik dari Snouck Hurgronye), Nyonya Abendanon, Dr. Adriani (pendeta penyebar agama Kristen di suku Toraja), Annie Glassier (guru privat bahasa Kartini yang dikirim oleh Abendanon untuk memata-matai dan mengikuti perkembangan pemikiran Kartini), Stella (wanita Yahudi, anggota pergerakan feminis di Belanda), dan Ir. H. Van Kol (insinyur dan ahli masalah kolonial).


Namun, di tengah lingkungan yang penuh tantangan dan bujuk-rayu, serta di tengah dinamika keremajaan yang kritis, dia tetap teguh dan selamat membawa identitas keislamannya. Hal ini tidak lepas merupakan berkah persentuhannya dengan Al-Qur’an dan Ulama.

Suatu ketika Kartini berkunjung ke rumah pamannya, seorang bupati di Demak. Waktu itu, sedang berlangsung pengajian bulanan khusus untuk anggota keluarga. Kartini ikut mendengarkan pengajian tersebut bersama para Raden Ayu yang lain dari balik hijab. Kartini merasa tertarik dengan materi pengajian yang disampaikan saat itu, tafsir Surat Al-Fatihah, oleh Kyai Haji Sholeh Darat Semarang. Beliau sering memberikan pengajian di berbagai kabupaten di sepanjang pesisir utara.

Selesai acara pengajian, Kartini mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai Sholeh Darat. Ia mengutarakan, “Saya merasa perlu menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada Romo Kyai dan kesyukuran yang sebesar-besarnya kepada Allah, atas keberanian Romo Kyai menerjemahkan Surat Al-Fatihah ke dalam bahasa Jawa sehingga mudah dipahami dan dihayati oleh masyarakat awam, seperti saya…” Lanjutnya, “Selama ini surat Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tidak mengerti sedikit pun akan maknanya, tetapi sejak hari ini ia menjadi terang-benderang sampai kepada makna yang tersirat sekali pun, karena Romo Kyai menjelaskannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami. Isinya begitu indah menggetarkan sanubari saya…”

Selanjutnya pertemuan ini menggugah Kyai Sholeh Darat untuk menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Jawa. Pada hari pernikahan Kartini, Kyai yang merupakan guru dari KH. Hasyim Asy’ari (pendiri NU) dan KH. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) ini menghadiahkan kepadanya kitab karyanya tersebut, berjudul “Faidur Rahman fi Tafsir Al-Qur’an” jilid pertama yang terdiri dari 13 juz. Kitab ini sekarang dicetak dan diperjualbelikan di Singapura. Mulailah Kartini kemudian berinteraksi dengan Al-Qur’an secara inten, Kitab Suci yang penuh berkah.

Hidayah yang menyertainya ini digambarkan Kartini dalam surat-suratnya. Ia melukiskan kesannya kepada Abendanon, “Nyuwun sekar melati, ingkang mekar ing jering ati.” Ia juga menulis, “Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat, tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaan di samping kami.” (15 Agustus 1902) Dua hari kemudian, dia menulis, “Sekarang ini, kami tiada mencari penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh-teguh pada tangan-Nya. Maka hari gelap-gulita pun menjadi terang, dan angin ribut pun menjadi sepoi-sepoi.” (17 Agustus 1902) Kata-kata ini adalah sentuhan cahaya Al-Qur’an yang menerangi lubuk-hatinya: “Minazh zhulumati ilan nur,” (dari gelap menuju cahaya), petikan dari surat Al-Baqarah ayat 257. Dan puncaknya adalah, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu: hamba Allah (Abdullah).” (Suratnya kepada Nyonya Abendanon, 1 Agustus 1903)
Berikut ini beberapa petikan lain dari surat-surat R.A. Kartini, isinya bergelora semangat keislaman, yang kiranya patut direnungkan oleh kaum ibu dan remaja puteri di momen mereka memperingati 21 April:
“Kita dapat menjadi manusia sepenuhnya, tanpa berhenti menjadi wanita sepenuhnya.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900)

“Orang memang menaruh perhatian yang sungguh-sungguh kepada perkembangan otak mereka, tetapi apa yang dilakukan untuk pembentukan watak mereka?.” (Surat Kartini kepada Nyonya Abendanon, Agustus 1900)

“Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?.” (Surat Kartini kepada Ny. Abendanon, 27 Oktober 1902)

“Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” (Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902)

“Usahakanlah zending itu, tetapi tidak dengan menasranikan orang!.” (Surat Kartini kepada Abendanon, 31 Januari 1903)

“Yakinlah Nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan Nyonya kami berharap, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami (Islam), patut disukai.” (Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902)

Pepatah menyatakan, siapa mendekati Al-Qur’an, maka Al-Qur’an akan menunjukinya. Dan siapa mendekati ulama, niscaya terperciki keharumannya. Anak-anak bangsaku, bila kalian menyanyikan lagu Ibu Kita Kartini, maka ingatlah hal ini. Bacalah tinta sejarah R.A. Kartini dan teladani cita-citanya tidak dengan terbata-bata. Wallahu a’lam.

Oleh: AHMAD SYARIFUDDIN*
kopas dari sini

Komentar