Minta sumbangan apa minta hape??


Secara tergesa-gesa Bams berjalan bersama temannya, mereka bergerak menuju pintu keluar perumahan elite di dekat kosannya. Namun, cerahnya hari itu ternyata belum mampu memuluskan langkah mereka menemui sang pencuri. Keheningan masih terasa di kompleks, tapi bukan di hati Bams.
Peristiwa hilangnya ponsel itu terjadi begitu cepatnya, dalam hitungan detik. Sesaat sebelum ponsel digondol maling itu, ia asyik membaca buku di kamarnya, kamar sebelah kiri pertama dari sebuah kos-kosan. Kamar sebelahnya atau sebelah kiri kedua penuh hiruk pikuk teman kosannya yang sedang bercanda sambil menonton dorama (drama Jepang).

“Mbang ini hapenya, trims ya..”, kata Fatqur, penghuni kamar pertama sebelah kanan sambil meletakkan hape itu di meja depan Bams. Ia sempat meminjam barang jadul itu untuk meminta sms.
“Oke qur”, Bams hanya mengiyakan tanpa melihat langsung hape diletakkan. Sekali lagi, ia begitu asyik dengan bacaannya, meski ia menghadap meja itu. Ia hanya sadar bahwa teman kosnya sudah masuk ke kamarnya dan meletakkan sesuatu di hadapannya.

Sedang asyik membaca, ia terusik dengan suara kaset sholawat diputar dari sebuah speaker, ditebaknya kira-kira cuma tiga rumah dari kosnya itu. Meski ia muslim, tapi kali itu ia langsung ilfeel, “Ah, pasti orang yang suka minta sumbangan”, hati kotornya bersuara. Memang bukan kali ini ia mendengar suara yang sama, hampir setiap hari dua orang berkopyah, berbaju koko, dan salah satunya membawa speaker kecil berkeliling di sekitar kosnya, dan selalu menghampiri kosnya juga. Sebagai penghuni kamar pertama, ia begitu sering menjawab salam dan menyambut para peminta sumbangan dan sedekah, sering ia beri seadanya, sering juga ia menolak. Entah setan apa yang membuatnya tak berdaya saat itu, hingga ia memutuskan untuk menolak dengan cara halus. Ia bergegas pindah ke kamar sebelah yang sedang ramai dan memutuskan akan menjawab salam dengan pelan-pelan. Langsung saja buku ia letakkan di meja, lalu ‘bersembunyi’ di kamar sebelah yang tak mungkin terlihat oleh orang tak diundang itu.

“Assalamualaykum...”, suara yang hampir tiap hari ia dengar menyapa
“Walaykumsalam....”, Bams menunaikan kewajibannya, tetapi dengan sangat lirih, hampir tak bersuara
Dua kali salam diucapkan, dua kali pula Bams menjawab dengan volume suara yang sama, sementara  ia pun tak tahu apakah tiga temannya melakukan hal yang sama atau tidak, yang jelas kegaduhan tadi seperti hilang tak berbekas.

Cuma sekitar dua menit ia berada di kamar temannya, mendengar tak ada salam lagi yang harus dijawab, Bams langsung keluar dari tempat ngumpul sekosan itu, untuk kembali ke dunianya. Namun, ia langsung teringat benda mungil yang tadi dipinjam temannya. “Qur..qur.. kamu tahu hapeku?”. “Lho.. kan tadi dah kutaruh dimejamu toh.., bukannya tadi kamu juga sadar dan menjawab”. jawab Fatqur hampir tidak yakin. “Iya sih, tapi tadi aku lagi mbaca buku, gak lihat hapenya”. “Barangkali kamu lupa naruh kali..”, Fatqur mengingatkan sambil ikut membantu mencari seisi kamar Bams. 

Saat Bams dan Fatqur sedang kebingungan mencari hape, seorang wanita yang biasa mencuci dan menyetrika pakaian beberapa anak kos menuju lantai dua, mereka tahu kedatangannya. “Bentar.. aku tanya mbak Marni aja ya, barangkali dia tahu apakah ada orang yang masuk ke kamarku”, “Oke deh.., aku juga heran masak bisa hilang toh”, Fatqur menyetujui..

Sejurus kemudian, Bams sudah sampai di lantai dua dan melihat mbak Marni sedang menyetrika di ujung lorong. “Mbak..mbak, pas tadi mau kesini, mbak lihat ada orang yang keluar dari dalam rumah nggak?”, tanya Bams sedikit terburu-buru. “Iya mas, ada”. “Siapa mbak?”, “Itu lho yang pakai kopyah dan baju koko yang biasa minta sumbangan”. “Aduh!!, hapeku dicuri mbak” air muka Bams turut berubah seketika menunjukkan rasa sedih dan gelisah. “Aduh mas, saya kira tadi ada yang ngasih di dalam, jadi gak tahu apa-apa!”, mbak Marni seolah merasa bersalah.

Penghuni lantai dua yang mendengar Bams ribut-ribut dan mengaduh langsung bertanya kepadanya tentang apa yang terjadi. Buru-buru lelaki dua puluh tahun yang baru kehilangan beserta teman-temannya langsung bergegas menuju lantai dasar dan mengajak seisi penghuni kos berpencar mencari si pelaku. Namun penipu itu sudah hilang ditelan bumi.

Mereka kembali ke kosan dengan muka lesu, terutama Bams. Ia tak menyangka, gara-gara enggan menerima tamu ia menjadi korban. Saat itu memang kamarnya terbuka jendela dan pintunya, hampir terlihat seisi kamar dari pintu masuk kos. Ia dan seluruh temannya juga yakin, bahwa dua pria peminta sumbangan itu penipu. Salah satunya membawa salon kecil yang menyenandungkan lagu-lagu sholawat, satunya lagi yang mendatangi pintu ke pintu sambil mengulurkan sebuah surat sumbangan yang meragukan, hanya selembar dan dimasukkan di plastik kecil tebal transparan. Namun, kali itu ia tak habis pikir, bahwa suara speaker yang hilang tiba-tiba ketika salam selesai diucapkan, ternyata menyiratkan mereka sedang melakukan aksi dosa. Menipu orang dan menipu Tuhannya.

Beberapa hari selanjutnya mereka datang ke sekitar kos lagi, seperti biasa, seolah tak ada yang terjadi. Namun bedanya, saat itu dan selanjutnya tak sekalipun mampir ke kos kami seperti hari-hari yang lalu. Karena tidak ada barang bukti, Bams dan kawan-kawannya tak punya nyali menanyai mereka tentang hilangnya hape itu. Kejadian itu, membuat Bams sedikit berhati-hati dalam memberikan sumbangan.

Komentar