Pilu di Pagi Hari

Pagi itu, Bayu masih terpuruk. Kabar musibah yang ia terima sepuluh menit yang lalu seakan mencabik-cabik daging dan memutuskan persendian tulang-tulangnya. Selama ini, ia dikenal sebagai lelaki penyabar dan tangguh, setidaknya seperti itu tetangga memandangnya. Tetapi tampaknya tidak untuk kali ini. Baginya, musibah ini begitu berat. Sejak tadi, ingin rasanya ia menuruti kata hati untuk menangis sejadi-jadinya, tetapi pikiran memaksanya menemui kesadaran bahwa ia adalah lelaki. Maka, ia hanya terduduk lesu di atas bangku putih panjang sendirian. Kepalanya menunduk, menyembunyikan kesedihan mendalam. Matanya jelas merah, karena sejak dini hari suasana kalut telah memaksanya terjaga. Namun, pandangannya yang dari tadi tertuju ke lantai, tiba-tiba menjadi sedikit samar seiring munculnya butiran air di sudut-sudut matanya. Sejurus kemudian, akhirnya kesedihan itu meluap juga. Air jujur itu keluar meninggalkan mata, mengalir perlahan tetapi semakin deras, hingga menetes dari dagu tegas seorang lelaki berparas tampan ini.
Bayu tak hanya menangis, sesaat ia merengek-rengek seperti anak yang tak diberi uang orangtuanya. Sesaat kemudian menggeleng-gelengkan kepala, seolah tak yakin dengan apa yang baru dialami. Juga kadang semakin menunduk sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Di dalam pikirnya, ia membayangkan masa-masa indah beberapa tahun belakangan, saat ia dan wanita cantik itu berkenalan, menikah, dan membesarkan bayi mereka. Bercanda mesra, berteriak bersama, bercerita sepanjang hari, bahkan saling menjahili. Sungguh satu windu yang tak mungkin hilang dari ingatannya.

Belum berapa lama ia melamun dalam tangis, sebuah teriakan polos membangunkannya dari dunia kalut, “Ayah!!!”. Seseorang memanggilnya dari arah kiri. Hanya siluetnya yang tampak saat itu, tapi ia kenali suaranya. Seorang anak kecil berseragam playgroup menampakkan diri dan berlari kencang ke arahnya. Itu Aldi, anak empat tahun buah hati ia dan istrinya. Dibelakang anaknya, tampak mbak Minah berjalan santai dan membawakan tas anaknya. Bayu sontak berdiri, menyeka air mata dengan punggung dan jari tangganya, lalu membungkuk, dan membuka tangan menyambut Aldi. Tangkapannya berhasil,
“Wah.. jagoan ayah sudah siap ke sekolah nih!, udah makan belum?”, sambil kemudian meletakkan Aldi di sisi kiri tubuhnya dan menyangga Adi dengan tangan kiri yang dilipat sejajar dengan dada.
“Udah Yah.. tadi mbak Minah udah nyuapin bubur kok”, jawab Aldi polos sambil melirik mbak Minah yang berdiri menyandar di tembok.

Bayu tersenyum simpul, lalu bertanya “Lhoh, lalu Aldi kok nggak langsung berangkat, nanti bisa terlambat lho..”

“Nggak papa Yah, Aldi kan mau lihat dedek dulu. Ibu guru di sekolah juga nggak pernah marah sama Dito yang sering terlambat kok Yah” jawab Aldi polos.

“Lalu, sekarang dedek sama ibu dimana Yah?”.

“Ehm….”, ia berpikir cepat-cepat, tetapi belum ia mengucapkan apapun Aldi dengan cepatnya menimpali pertanyaan lagi.

“Kok mata ayah merah sih, habis nangis ya Yah?”

“Enggak nak, ini sih karena Ayah kurang tidur aja. Kan pagi-pagi sekali, Ayah mengantar Ibu kemari. Mau ajak Aldi sih, tapi kasihan entar Aldi ketiduran di sekolahnya. Ehm… Ibu sih sekarang masih istirahat nak, mendingan kita lihat dedek dulu yuk.., gimana? setuju?”,

“Setuju Yah, dimana?”

“Oke-oke.. ayo kita segera kesana, tapi Aldi jalan ya.. duuh berat banget nih ayah nggendongnya, habis sarapan sih!”, lalu menurunkan Aldi yang seketika itu langsung tertawa cekikikan. Bayu menuntun anaknya ke ruang khusus untuk bayi prematur tak jauh dari ruang bedah istrinya tadi. Minah yang polos masih belum curiga apa yang terjadi, ia hanya mengikuti mereka selangkah demi selangkah.

Jalan menuju ruang inkubator berkanopi hijau, bersandingkan halaman luas yang sedang disapu oleh para petugas. Sang surya pun sudah mulai terlihat, tampak begitu cemerlang, setelah sebelumnya kehadirannya terganggu oleh bangunan depan rumah sakit. Burung-burung pun terdengar bersemangat bercericit dari pohon-pohon cemara di tepi kanopi. Begitu juga suara mobil dan motor, mulai terdengar bising melewati jalan raya di arah timur mengantarkan siapa saja yang akan menjalankan aktifitasnya pagi itu. Sementara itu, Aldi masih tersenyum lebar dan bernyanyi-nyanyi kegirangan, digandeng oleh Ayahnya yang hatinya campur aduk. Ia sedih, begitu sedih. Namun, ia juga bersyukur dititipi anak lagi oleh sang pencipta, yang kali ini perempuan. Dalam hati ia berdoa, “Ya Allah, hamba hanyalah manusia biasa, Engkau tahu itu. Mengapa begitu cepat aku bersamanya. Namun, terimakasih ya Allah, engkau selamatkan anakku dari rahim ibunya. Beri hamba kekuatan menjalani cobaan dan amanah ini. Amin”.

Sesaat kemudian, sampai di pertigaan jalan, ia menengok ke kiri. Tak jauh dari pertigaan itu, tampak seorang laki-laki yang sedang menampar perempuan yang wajahnya tak asing bagi Bayu. Sepertinya itu adalah Dokter Ani, Dokter yang menangani persalinan istrinya semalam. Bayu melambatkan langkahnya, sambil mencoba mengetahui apa yang terjadi. Ia urungkan untuk ikut campur ketika hatinya pun sedang kacau balau. Beruntung, Aldi yang ia gandeng di sebelah kanan masih asyik bernyanyi, tak memperhatikan peristiwa itu.

“Dasar wanita mandul!”, teriak lelaki berpakaian necis itu. “Aku ini anak tunggal, kau tentu tahu aku harus punya keturunan untuk mewarisi perusahaan. Aku nggak tahan dengan desakan mama dan papa”

“Siapa sih yang ingin mandul, aku juga tak ingin ini semua, kamu ngerti dikit dong!”, sang wanita membantah sambil memegang pipinya yang memerah.

“Ahhhh… banyak omong, besok aku ceraikan kau!”, teriak lelaki kurus itu setelah membuang wajahnya ke arah pertigaan. Pandangannya sejenak bertemu dengan Bayu. Maka, Bayu pun mengalihkan kembali mata dan kepalanya ke arah depan.

Perasaan Bayu semakin tenang. Ia berpikir saat itu juga, menyadari bahwa manusia lawan jenisnya ternyata selalu berada dalam masa sulit. Ketika mandul pasti dikambinghitamkan dan ketika akan melahirkan mau takmau berhadapan dengan dua kemungkinan, hidup atau mati. Spontan, ia kembali berbisik, “Alhamdulillah”, bersyukur atas sepasang buah hati putra dan putri

Langkah Bayu semakin tegap. Aldi yang tadi hanya digandeng, kini sudah berada dalam gendongannya. Marni pun terheran-heran atas perubahan sikap ini, tetapi malu bertanya. Dalam benak Bayu, ia akan berusaha menghadapi ini semua dengan menjadi Bayu yang biasanya, sabar dan tangguh. Ia merasa Allah mungkin lebih sayang pada istrinya daripada ia sendiri, maka Allah memanggil istrinya dini hari tadi. Kini ia diamanahi dua anak, putra dan putri, dalam hati ia berjanji untuk mendidik dan merawat mereka dengan sebaik-baiknya meski tanpa ibu. Ia pun memutar otak untuk memberikan penjelasan pada Aldi atas musibah yang terjadi. Tiba-tiba sampailah ia di depan ruangan yang dituju. Aldi yang sudah tidak sabar diangkatnya hingga mampu melihat dari jendela kaca.

“Nah.. itu Di. Lihat nak, itu dedekmu”.

“Alhamdulillah. Kok ditinggal di dalam situ Yah.. kan kasihan..”, air muka Aldi berubah dari senang menjadi hampir merengek.

Bayu pun hanya bisa tersenyum lebar, begitupun Marni.

***

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “Orang yang terbunuh fi sabilillah adalah syahid, orang yang mati karena penyakit perut adalah syahid, orang yang mati tenggelam adalah syahid, wanita yang mati karena melahirkan adalah syahid dan orang yang mati karena wabah kolera adalah syahid.”

Komentar