Ternyata bukan hanya di kota..


Sontak aku begitu kaget mendengarnya. Nggak habis pikir bahwa kejadian itu ternyata juga ada di sekitarku. Seorang perempuan kecil dan yatim yang terakhir mengenyam pendidikan di madrasah aliyah itu ternyata sudah berbadan dua, dan faktanya ia belum pernah menikah. Aku tak tahu apakah pemicu kehamilan itu adalah perbuatan yang disengaja atau perkosaan. Meski tak jelas mana yang benar, berita itu begitu mudah menyebar di kampungku, maklum ini desa bukan kota. 

Ia tetanggaku, jarak rumahku dengan rumahnya hanya enam meteran. Ibunya sudah dtinggal pergi oleh Ayahnya lebih dari lima tahun yang lalu. Untuk mencukupi kebutuhan anaknya, sang Ibu rela pulang pergi ke Kecamatan sebelah, menggunakan sisa tenaga mudanya untuk mengabdi menjadi pembantu rumah tangga. Saudaranya ada banyak, tapi sebagian besar sudah berumah tangga dan sudah tidak serumah lagi dengannya. Pun mereka semua sudah bekerja, hanya tinggal si bungsu itu yang sekuat tenaga disekolahkan oleh ibu dan kakaknya.

Sungguh tak bijak jika aku langsung suuzon menuduhnya berzina, toh aku hanya mendengar kabar tersebut dari ibu waktu aku menikmati jeda kerja di kampung halaman. Namun, saat itu aku memilih untuk merombak pemikiranku sendiri, memperbaiki informasi yang salah dan terlanjur membentuk paradigma. Perzinahan, pergaulan bebas, dan sejenisnya ternyata bukan hanya terjadi di kota-kota besar yang selama ini kuyakini, tapi juga sudah mulai menyebar ke desa-desa dan kecamatan. Namun, aku masih tidak yakin jika peristiwa itu dan segala pemicunya terjadi di rumahnya, di desaku. Karena meskipun ini masih desa, tetapi jarak rumah per rumah di sini sudah cukup dekat, norma-norma masih kuat dijaga, dan kepedulian masyarakat pada lingkungannya juga begitu besar. Satu-satunya yang memungkinkan adalah, pergaulan bebas itu terjadi di lingkungan ia belajar.

Lingkungan pendidikan, menurut saya mempunyai andil begitu besar dalam mempengaruhi perkembangan kepribadian dan karakter seseorang. Kalau boleh dibilang, inilah lingkungan paling berpengaruh kedua setelah keluarga. Di tempat itu, ia bertemu banyak teman seumuran, dengan karakter bawaan masing-masing. Orangtua sudah tidak mungkin lagi menjangkau apa-apa yang dilakukan anaknya di sana, sementara guru-guru sebagai orangtua kedua pun tak mungkin mampu mengawasi seluruh anak didiknya, bahkan tak sedikit yang tak mau ambil pusing mengurusi mereka. Maka, meskipun ia berasal dari desa kecil dan secara alamiah membawa aturan-aturan dalam nuraninya, tak menjamin ia selamat dari malapetaka yang membawanya menuju kehancuran. Bukan rahasia lagi, bukan hanya pergaulan bebas yang marak terjadi di sekolah, narkoba, kekerasan, pelecehan seksual, dan perjudian juga begitu mudahnya menjangkiti remaja-remaja yang menghuninya. Ditambah arus informasi kini begitu mudah diakses lewat berbagai media, memungkinkan kelabilan para remaja itu digiring kearah yang jauh lebih buruk dari yang dikira.

Akhirnya yang tersisa hanyalah pertahanan anak itu sendiri, sebab setiap pribadi memiliki tanggungjawab penuh atas dirinya, apakah berbuat atau tidak berbuat. Ia punya hak penuh menentukan informasi yang ia serap, apakah itu menguntungkan atau justru membahayakan. Ia pun mempunyai kesadaran dalam memilih teman bergaul dan menjalin persahabatan. Modal awal untuk mampu mengambil kebijakan itu semua adalah norma-norma yang tertanam di alam bawah sadarnya sejak ia kecil sampai sekarang, dan untuk hal ini keluargalah yang paling bertanggungjawab.

Semoga Allah menyelamatkan kita dan keluarga kita dari api neraka.

Komentar