Minggu pagi, 3 November 2013 atau 28 Dzulhijjah 1423H, di sebuah masjid kecil bernama
Al Huda, kalimat ‘sakral’ itu akhirnya kuucapkan. Disaksikan oleh orang tua,
kakak, adik, dan seluruh kerabatku, serta tidak kurang dari 70 pasang mata di
tempat yang mulia itu, tanganku dengan mantap menggenggam tangan calon
mertuaku, dan mengucapkan lafal qabul dengan tegas sebagai penanda ikatan suci
pernikahan diriku dan anaknya. “Saya
terima nikah dan kawinnya Galih Lukito Sari binti Paiman, dengan maskawin uang
sebesar tiga juta seratus sebelas ribu tiga ratus rupiah dan emas tiga koma
sebelas gram dibayar tunai”. Beberapa saat kemudian, kedua saksi berujar
“SAH” dan disambut dengan doa dari penghulu. Hufh… Lega. Alhamdulillah ya
Allah. Perasaan yang terus berkecamuk selama beberapa hari lengkap dengan
kondisi fisik yang sudah letih karena perjalanan jauh dan kurang tidur,
akhirnya berakhir dengan kebahagiaan. Penantian selama 24 tahun menunggu
seorang teman pendamping hidup tempat melabuhkan cinta di dunia dan akhirat usai
sudah. Sebuah babak baru dalam hidupku. Ya, aku tak sendiri lagi. Sejurus
kemudian, bidadariku muncul dari belakang, dan dengan khidmat mencium tangan
dinginku, sekilas aku sadari kekhusyukan hatinya saat air bening keluar dari
matanya. Tak cukup lama momen itu terjadi, kami berdua sudah disalami para
hadirin dan mendapat ucapan selamat dan doa barakah. Jadilah, kami raja dan
ratu seharian.
Mundur sebulan sebelumnya, saat aku pampang undangan di social media, sebuah kehebohan muncul.
Pertanyaan demi pertanyaan seperti, dia teman sekolah atau teman kuliah? Pernah
ketemu di mana? Kok bisa dia tinggal di Jawa dan kamu di Wamena bisa bertemu?
Dia anak STAN juga? dsb. Alhamdulillah, cinta pertamaku Galih Lukito Sari
bukanlah siapa-siapaku sebelumnya, yang jelas kami berdua menjaga diri dari
hubungan tanpa ikatan dan tidak sesuai syariat (baca: pacaran), terus
memperbaiki diri sendiri, dan bermunajat pada Allah agar saling dipertemukan
dengan jodoh kami. Dan, jodoh benar-benar tak dapat disangka-sangka, meski aku
di Wamena dan dia di Jawa akhirnya kita dipertemukan oleh-Nya Pertama kali di
Jogjakarta (taaruf), kedua kali di rumahnya (khitbah), dan ketiga kalinya di
masjid Al Huda (menikah). Demikianlah jawaban sebenarnya yang ingin kusampaikan
atas pertanyaan-pertanyaan itu, biasanya aku hanya menjawab dengan bercanda “Dia
bukan siapa-siapaku kok, aku hanya nemu”. Pacaran setelah pernikahan, begitulah
cita-cita kami selama ini. Selamat pacaran!!
Senin pagi, 4 November 2013, 29 Dzulhijjah 1423H, kami melangsungkan walimatul ursy pernikahan. Berlangsung
sederhana dan tradisional yang dibalut dengan nuansa Islam, walimahan
dilaksanakan di rumahnya yaitu di Dukuh Panisihan, Desa Kretek, Kec.
Paguyangan, dan Kab. Brebes. Tiga kali kami harus berganti kostum untuk
menyambut hadirin para undangan. Entah berapa ratus jepretan kamera yang
mengabadikan ekspresi kebahagiaan kami baik di ruang khusus yang disediakan
untuk fotografi atau saat di atas pelaminan bersama kerabat dan undangan. Saatnya
pasang tampang ganteng dan senyuman manis :-)
Walimahan berlangsung dari sekitar pukul 10.00 dan berakhir
pukul 13.30 WIB serta sempat diselingi hujan rintik-rintik. Beberapa kerabat
dari Galih dan dariku yang sudah menunggu beberapa hari dan menemani kami
langsung pamitan siang itu. Sementara Bapak dan Ibuku pulang pada sore harinya. Agak aneh dan risih juga waktu itu, aku ditinggal pergi keluarga dan akan tinggal di rumah mertua. Desa ini benar-benar telah menjadi kampung halaman keduaku.
Demikianlah sedikit cerita tentang dua hari yang bersejarah
dalam hidupku. Ketika aku mengambil amanah Allah dari mertuaku berupa istri
yang sebenarnya makhluk ‘asing’ itu. Aku kini memikul amanah untuk menjadi imamnya
di dunia, dan menahkodainya bersama menuju Surga di akhirat kelak. Dan tentu
saja, upah kerja atas peluh di kantor kini tak lagi bisa kukendalikan
sesuka hati, karena ada dia yang menjadi manajer keuanganku di sepanjang hidupku. Dan
tentu saja, waktu-waktu galauku di masa lampau yang kulampiaskan dengan
beraktifitas bersama teman-teman harus ku-manage
lagi karena ada dia yang selalu ingin ada di dekatku dan akupun ingin dekat
dengannya. Ehehehe... Selamat tinggal masa galau, selamat tinggal masa bujang. Kini
ku tak sendiri lagi.
Meskipun waktu liburan cuma dua minggu, pun diselingi dengan ujian D-IV STAN, pun diselingi dengan silaturahim ke kerabatnya di Jogja lalu pamitan ria ke teman-temannya di Kantor Kecamatan dan sekitarnya, serta tanpa berlibur bulan madu kemana-mana, aku sudah bersyukur atas nikmat ini. Terima kasih atas segala pertolongan, bantuan, bingkisan, dan doa-doa dari para kerabat, tetangga, teman, dan segala pihak yang membuat momen pernikahan kami menjadi sesuatu yang tidak akan terlupa. Tahun baru hijriah yang jatuh dua hari setelah akad nikah, 1 Muharram 1424H, benar-benar spesial bagiku, doa yang kupanjatkan agar bisa menikah di tahun ini dikabulkan oleh Allah. Bukan hanya tahun Masehinya, tetapi juga di tahun Hijriahnya. Tepat 1 Desember 2013, istri tercinta pun menemaniku ke Wamena. InsyaAllah dia selalu ikhlas menemaniku kemanapun aku bertugas. Alhamdulillah
Terakhir, semoga Allah mudahkan kami dalam mengemban amanah sebagai
suami dan istri, menumbuhkembangkan cinta di antara kami, cinta yang suci
bersumber dari cinta pada-Nya, dan memberkahi rumah tangga kami dengan
kesejahteraan dalam ketaatan. Amin.
Barakallahu lakuma... Senang membaca cerita bahagia ini :)
BalasHapus*doain saya segera nyusul ya :D
Amin... makasih doanya momon
BalasHapusgek ndang yo...